Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Obrolan Bale Bengong: Bom Bunuh Diri, Kematian dan Kesucian

2 April 2021   14:05 Diperbarui: 2 April 2021   14:09 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi Pribadi

Bale bengong di banjar itu, agak ramai di sore itu. Orang bisa duduk  santai, tak jarang ruang itu menjadi ajang  diskusi yang menarik,. Saya menyimaknya dengan serius, topiknya bisa di sekitar kita, topik trend di  media sosial dan TV kadang dibawa di tempat  itu untuk didiskusikan. Kejadian nun jauh disana.

Namun bisa menjadi bahan diskusi hangat di sudut desa itu.  Artinya, literasi  beragam ilmu terbantu berkat adanya teknologi informasi yang menelusuk ke sudut desa.

Teknologi informasi juga menjadi peranti untuk menyalurkan teror, dan bagaimana pun   cuci otak secara masif, juga  bisa dilakukan lewat media on line itu. 

Artinya teknologi tetap netral, orang yang memanfaatkan yang memiliki peran penting, mau menghancurkan atau membangun kebaikan, terserah diri masing-masing individu. 

Sampai di sini maka  benar kata Alvin Toffler , sang futuristik itu, berkata, " Kekuatan teknologi kita meningkat, tetapi efek samping dan potensi bahaya juga meningkat"

Teknologi untuk merakit bom bisa juga  disebarkan lewat on line.  Ketika terjadi bom bunuh diri di Makasar , dan serangan wanita bercadar di Mabes Polri,  orang pada kaget dan sedih, begitu juga di komunitas Bale bengong itu, dan menjadi semakin menegaskan, "Kemajuan teknologi hanya memberi kami sarana yang lebih efisien untuk kemunduran" Kemunduran dalam banyak hal, termasuk ingin saling menyakiti, baik diri sendiri maupun orang lain.

Bale Bengong di desa itu, memiliki komunitas sendiri, yang menjadi anggota tetapnya adalah  3 tokoh tua. Semuanya kakek-kakek, di Bali disebut pekak, yakni pekak Regug, Pekak Regig, dan Pekak Regog. nama khas orang Bali zaman dahulu ( nama lain, Megeg, Megig, Megog dan Megug atau Regig , Rugeg dan lain-lain ) yang kesannya berat seperti suara batu jatuh mungkin identik dengan nama 'Rolling Stones'

Lalu, Pekak  Regug, salah satu penghuni setia  di Bale Bengong itu bertanya (tepatnya melemparkan isu). "Mengapa terus saja pemerintah kecolongan dan  teror bom  bunuh diri  muncul sampai kini sudah 552 kali terjadi, seakan sulit diberantas. 

Lemahnya di mana? Lalu mengapa ada orang yang tega membunuh atau siap   menjadi martil sebagai pelaku  bunuh diri? Apa lagi pelakunya dari kelompok  kaum millennial, ada apa gerangan? 

kakek tua itu, sedikit kecewa, terhadap keadaan.  Udara berhembus sejuk di Bale bengong itu, namun suasana hening mulai memanas, membutuhkan sebuah solusi perenungan.

Pekak Regug sadar bahwa bahaya mulai menampakkan jati dirinya  kalau kita semua abai, sebab generasi milenial jadi target rekrutan jaringan teroris, dan  serangan doktrin radikalisme dan serangan penyesatan ideologi mengancam dan menyerang secara masif generasi millennial bangsa Indonesia. Kalau sudah demikian harapan pada  generasi emas 2045, masuk ke zona   mengukir langit dan mengantang asap-menjadi sia-sia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun