Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Elegi Hambalang dari Puri Cikeas ke Kita

27 Maret 2021   06:57 Diperbarui: 28 Maret 2021   22:05 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Udara sejuk selalu menghiasi  Hambalang, dengan bangunan  Sport Centernya yang  mangkrak itu, kini banyak pihak membangun cerita   karenanya. Bertema korupsi , elektabilitas partai, manuver politik dan banyak lagi yang lain. 

Paling tidak, di sana seakan terpatri ingatan bahwa kasus korupsi melilitinya sehingga bangunan tak jalan sesuai aturan. Padahal saat itu, sosok dari Puri Cikeas, SBY, menjadi  penguasa negeri ini dengan Partai Demokratnya. Laporan ABS (asal bapak senang) sulit ditampik dan itu   membuatnya kecolongan. Artinya ternyata banyak penjilat berhati busuk di dekatnya. SBY baru sadar kini, namun nasi telah jadi bubur. Hanya puisi yang bisa hadir. Namun kini yang tinggal adalah Hambalang dengan  eleginya, yang sontak membuat SBY,  mau-tidak mau harus siap  selalu dikaitkannya. Puri Cikeas selalu murung, sepi , galau walaupun suasana disana  dapat memandang perbukitan yang sejuk.

 Tak pelak,  bangunan  yang digadang-gadang menjadi  Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON)  yang mangkrak itu, menjadi bahan nyiyir, bahan bully , sehingga  banyak orang ingin mengabadikan sebagai  monumen semacam candi hiasan negeri. Itu membuat hati semakin pilu, sakitnya tuh disini,  sakit seperti tercabik -cabik sembilu. Harapannya semoga Presiden Jokowi segera menuntaskannya, sehingga menjadi bangunan megah. Sekali lagi semoga. Asal, menurut penulis, SBY tidak nyiyir  dan tampil sebagai bapak bangsa, meniru gaya Pak BJ Habibie.

Tak salah juga, Hambalang dihadirkan atas banyak  kepongahan.  Banyak rakyat  bersedih atas  kemangkrakannya  namun juga ada yang  suka ria karenanya,   karena  ada bahan  yang bisa dinyanyikan menjadi semacam elegi, untuk bercerita  tentang suatu masa, dimana slogan "Katakan tidak pada Korupsi" yang bintang iklannya "masuk penjara karena korupsi, kecuali IBAS, akhirnya menjadi slogan populer "Katakan tidak pada (hal)  korupsi"  menjadi diksi yang melegenda buat Partai Demokrat.

Elegi Hambalang sesungguhnya   membuka mata rakyat, mengapa demikian?  ketika politikus berbicara A, bisa jadi B, sebuah negasi kerap terjadi, orang berkata tidak korupsi, sesungguhnya korupsi. Benar adanya bahwa ayam  yang bertelur yang berkokok.

 Mangkraknya Hambalang, menggambarkan  pada khalayak bahwa   telah terjadi   kesesatan  profesional kinerja pemerintah saat itu, yang berdiri atas nama "pembangunan'. Kesesatan akibat terjadinya korupsi,    entah  karena maraknya tagihan  setoran,  entah oleh siapa dan untuk siapa semuanya tak  samar,  senyap. Yang jelas sudah ada terdakwa. Setelah keluar penjara menjabat di partai lagi, lelucon yang tak lucu memang.

Kesenyapan masih menyimpan duka, dan kerap dinyanyikan, oleh banyak pihak, Mulai dari presiden Jokowi, atau elite politik lain, untuk membungkam ekskalasi politik dinasti Puri Cikeas' yang sering  memancing ketika  air keruh. Maka. mudah ditebak bahwa Hambalang dibangkitkan sebagai senjata politik untuk  menghujamkan , agar rakyat melek, bisa memilih yang mana benar dan yang mana keliru.

Pesannya bahwa  kekuasaan itu menjadi menarik dan politik menjadi hiburan masyarakat. Ketika puisi SBY hadir  belakangan ini, dia menjadi hiburan sesungguhnya.  Saya teringat pernyataan John F Kennedy, " Ketika kekuasaan mengantar manusia pada kesombongan, puisi mengingatkannya akan keterbatasannya. Ketika kekuasaan mempersempit area pemikiran manusia, puisi mengingatkannya akan kekayaan dan keragaman eksistensi. Ketika kekuasaan itu korup, puisi membersihkannya. Itu mungkin yang dipesankan oleh SBY atas Puisinya dari Puri Cikeas. Yang BERTAJUK Kebenaran dan Keadilan Datangnya Sering Lambat, Tapi Pasti.

Elegi Hambalang menjadi kian kejam, politik semakin menjadi alat saling mengungkit, dan menyakiti, pertanyaannya sampai  kapan Hambalang akan menjadi alat tikam?  Kata Kakak saya yang melihat tayangan "  konferensi pers di Hambalang Sport Center, Bogor, Kamis (25/3/2021), pada laman youtube.com/kompas tv, oleh kubu Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang, oleh Bung Max Sopacua ini tampil agak menarik, ditempat ' yang lagi  bikin  emosi bergejolak, bulu kuduk merinding  karena bangunan mangkrak

Saya tersenyum, menghadap ke langit bale dangin, mendengar celotehan kakak saya. " Gedung Olah raga itu,  yang dibangun  dengan uang rakyat . uang hasil pajak, uang hasil eksploitasi kekayaan bumi, atau mungkin uang karena pinjaman hutang luar negeri yang harus dibayar oleh  rakyat, Kini kondisinya  kian menyedihkan karena kerja yang tak selesai, bak pepatah' Ke langit tak sampai, ke bumi tak nyata, Tanggung dalam menyelesaikan pekerjaan  belum paripurna.

Narasi Hambalang  adalah  gambaran  elegi akan  kehidupan negeri ini, yang didiamkan, yang digunakan  sebagai alat politik , tak terselesaikan , sampai kapan terbengkalai ? Sulit  mencari jawabannya. Orang boleh menduga bahwa sengaja didiamkan  untuk menjadi alat yang kejam untuk saling, menyalak. Kita hidup di zaman dimana rasa malu tidak lagi ada?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun