Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak dalam Teori Tabularasa

28 Februari 2021   19:48 Diperbarui: 28 Februari 2021   20:12 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap anak menangis, disodorkan Hp, menjadi fenomena menarik zaman now. Zaman yang menghadirkan sebuah dunia yang marak dan menjemput usia lebih dini dengan teknologi. Zaman yang memperkenalkan teknologi seawal mungkin, dengan segala keunikannya yang melimpah.

Lalu, apakah manusia IQ-nya bisa meningkat dengan cara itu? Pertanyaan kritis dan bisa jadi absurd? Tak tahulah, seharusnya IQ meningkat jauh, karena ruang kecerdasan bisa luas dan beragam. Nyatanya tentu, perlu riset untuk itu.

Saya rasa pada diri ini, banyak informasi, namun produktivitas tak banyak hanya berhenti di kepala, lalu hilang bersama waktu. Mungkinkah itu juga terjadi pada anak-anak generasi Y dan juga generasi Z, yang lain? Entahlah

Saya harus menelisik dari tulisan Karl Mannheim (Tahun 1952), pada esai nya "The Problem of Generation," sosiolog Mannheim mengenalkan teorinya tentang generasi. Menurutnya, manusia-manusia di dunia ini akan saling memengaruhi dan membentuk karakter yang sama karena melewati masa sosio-sejarah yang sama. Lalu generasi Z itu, adalah orang-orang yang lahir di generasi internet---generasi yang sudah menikmati keajaiban teknologi usai kelahiran internet.

Dalam dunia yang bisa terhubung dengan internet, maka Anak-anak adalah mutiara, yang siap menjadi aneka perhiasan yang berharga, dan menjadi aksesoris yang siap membangun lebih maju ataupun menghancurkan peradaban. Bisa berbahasa asing, atau bisa keterampilan yang lain, termasuk merangkai boom, dan siap menjadi martil .

Anak-anak dalam sketsa tabularasa, memandang dunia dengan sebuah cermin, apa adanya, tanpa kepura-puraan, seluruh sumber pengetahuan diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat inderanya terhadap dunia di luar dirinya.

Di ruang itu benar kata Pablo Picasso, Setiap anak adalah seorang seniman. Masalahnya sekarang bagaimana tetap menjadi seorang seniman ketika mereka tumbuh dewasa. Harapan dan tantangan menjadikannya manusia kreatif adalah seni yang dibebankan pada pendidikan.

Dalam seni mendidik, banyak ragam telah dilakukan, namun di antara banyak mutiara itu, saya terpesona dengan ' Konsepsi SATYOOPANISHAD, artinya adalah duduk dekat dengan guru yang membicarakan tentang kebenaran dan layaknya FGD modern, namun bedanya jelas, dimana Guru adalah panutan lahir bathin, karena bisa melihat dan melaksanakan kebenaran dalam dirinya.

Saya harus puas menemukan dialog antara seorang siswa dengan Swamiji, untuk mengambil contoh itu. Guru dengan sangat cerdas memberikan sebuah makna tentang kehidupan.

Saya membayangkan anak-anak dengan hati yang murni, mendapat pencerahan semacam itu. Anak itu adalah seorang pemuda, yang berasal dari Afrika selatan, datang di tempat seorang tokoh spiritual, yang dikenal sebagai Swamiji.

Swamiji tentu telah mampu menatap ke depan, memiliki kemampuan "dibyacaksus" (kekuatan pandangan matanya yang adi kodrati) begitulah orang menyebutnya. Kelebihan antar alam tak nyata dengan nyata menjadi santapannya setiap hari, memasuki wilayah misterius itulah dunia hendak ditatap dari sisi berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun