Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Primordialisme dan Phenodeviant sebagai Katalis Radikalisme

5 Juni 2018   06:30 Diperbarui: 11 Maret 2019   09:11 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Radikalisme, konsep yang sangat populer saat ini, radikalisme ditengArai bisa  muncul pada semua agama, golongan, bangsa dan dia hadir sebagai jawaban atas hilanganya pengakuan diri pada  suatu identitas. Oleh karena itu,  kehadirannya  ingin mengokohkan sebuah pengakuan atas keberadaannya yang dihilangkan atau sengaja dihilangkan atas nama kekuasaan, agama dan ideologi. Konstruksi berpikir inilah, sebenarnya, meminjam konep biologi sebagai phenodeviant, membuat mereka tampil beda secara tipikal dengan populasi keseluruhan. Hasrat tampil beda itu, membuat  suatu individu diperhitungkan dalam populasi yang seragam.

Kini gejala phenodeviant dengan  radikalisme  semakin menjadi priomadona, paling tidak menjadi pemikiran  penguasa dan pihak  keamanan. Akibatnya,  Indonesia terus dihantui oleh paham radikalisme  yang kian menyebar, dan anehnya mereka merekrut kelompok usia muda. Artinya, kaum muda sangat mudah  direkrut untuk menjadi komunitas penggerak radikalisme, karena fenomena phenodeviant tadi . 

Hal ini terlihat semakin seringnya ditemukan  kasus-kasus terorisme yang siap  menjadi pengantin" bom bunuh diri. Kebanyak dari mereka adalah kaum muda, yang terlihat sopan , halim dan termasuk orang baik-baik di sekolahnya, namun bila kondisi jiwa yang selama ini tidak tertantang kemudian dimasuki asrat  kuat untuk bisa tamipl dengan jalan berbeda, maka phenodeviant  yang sifatnya permanen pun melahirkan  benih-benih  radikalisme siap tumbuh berbiak dan menjadi besar.Phenodeviant seperti ini berakar pada karakteristik sosial, yang meminjam tesis  Gerrtz (1973)  sebagai primordialisme

Primordialisme  menurut  Gerrtz adalah sesuatu yang berakar pada sesuatu yang sudah takdirnya given atau di mana seseorang terikat secara moral dan oleh berbagai rasa tanggung jawab yang timbal balik pada anggota-anggota kerabatnya, tetangganya, sesama penganut kepercayaan dan agamanya, setidak-tidaknya primordialitas tersebut sebagian besar terwujud oleh adanya kesadaran moral atas sesuatu kemutlakkan yang penting atau utama yang tidak dapat diperhitungkan secara untung rugi semata-mata, diatributkan pada ikatan dirinya sendiri.

Dan ketika ikatan atas dasar kesadaran moral itu diuraikan dan dipetakan untuk ras, agama, suku  dan antar golongan, maka radikalisme juga bisa tumbuh dalam diri elemen-lemennya,  Mengapa demikia? Bila  aspirasi dan kedamaian elemen-elemen itu dalam bentuk komunitasnya  tergerogoti oleh berbagai persoalan yang laten yang tidak terselesaikan dengan amanah. Misal, kasus  reklamasi,  kemiskinan, pembagian sumber daya alam yang tidak adil, hak ulayat adat terganggu oleh investor karena kepentingan pusat, dan  penyelesaian tidak tuntas dan kurang  memuaskan atau  dipaksakan karena adanya kerakusan atas usaha yang mementingkan keuntungan semata juga menjadi benih yang sangat mengkhawatirkan. Kondisi demikian, menjadi ladang bersemai   benih-benih radikalisme yang sangat mujarab.

Kasus yang lain yang bisa memunculkan radikalisme, adalah kuatnya tradisi yang  menghegemoni  karena tradisi dan adat yang dilingkupi oleh generasi tua yang susah diatur, juga menjadikan benih radikalisme dalam skala intern, menjadi proses pembusukkan nilai luhur agama, sebut saja, kebangkitan kelompok atas nama pemurnian agama, dengan tradisi yang kaku merupakan benih radikal yang kerap  merusak ke dalam sehingga secara kohesifitas komunitas bisa terganggu.

Celakanya pemikiran radikal terus menyebar dan mulai merambah kaum muda.. Fenomena ini menunjukkan bahwa  beberapa dugaan, yaitu  (1) adanya kesalahan dalam pendidikan di tingkat dasar, sampai perguruan tinggi  terhadap  toleransi dan keberagaman, serta pikiran terbuka tidak dimiliki para tokoh masyarakat maupun  agama,  (2) adanya  faham radikal yang terus dengan sengaja disusupi masuk ke ruang publik tanpa tedeng aling-aling,  tanpa disadari oleh para pengambil kebijakan,  (3)  politik negara sudah mengendor menanamkan paham negara berdasarkan Pancasila dan Bhinneka  Tunggal Ika, (4) adanya ketimpangan  komunitas yang tidak terwadahi dalam keberagaman di negara ini.

Solusi yang ditawarkan  untuk merdeduksi munculnya phenodeviant yang menjadi benih radikalisme, adalah  pembenahan generasi muda Indonesia saat ini, berangkat dari implementasi  konsepsi bernegara antara lain,  (1) Ada  beberapa  prinsip  yang  harus  diperhatikan  dalam  mengembangkan  lembaga  pendidikan, pertama, kesadaran  magis  (magical consciousness) yang meliputi hakikat hukum, kesadaran nilai-nilai humanis mengamalkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Inonesia. (2) kesadaran  naif  (naival consciousness)  dan  kesadaran  kritis  (critical consciousness) kondisi untuk melahirkan keteladan  kokoh yang perlu dikembangkan dalam bernegara.

Langkah konkritnya dapat diuraikan  antara lain, pertama,  fungsi  menumbuhkan kesadaran  magis  (magical  consciousness). Kesadaran  ini  dikembangkan  dengan  suatu keadaan  kesadaran  yang  tidak  mampu  mengetahui  hubungan  atau  kaitan  antara  satu  faktor  dengan  faktor  yang  lainnya. Misalnya nak-anak di sekolah tingkat dasar dan menengah bahkan taman kanak-kanak berisiko terpapar ajaran intoleransi dan radikalisme, seperti ditunjukan sejumlah penelitian. 

Solusinya adalah, yaitu Pelajaran etika karakter bangsa yang ditinggalkan dan sekarang kembali harus dimasukkan kembali dengan metodologi yang berubah. Mungkin sifatnya bukan doktrin, tapi bagaimana membangun empati anak-anak untuk mengerti bangsanya, soal kemajemukan, dan sebagainya, dalam dimensi inilah pesan bijak Mahatma Gandhi Memberikan kesenangan kepada sebuah hati dengan sebuah tindakan masih lebih baik daripada seribu kepala yang menunduk berdoa. Di koridor itu, maka sejatinya pendidikan memegang peranan penting.  

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak.[

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun