Mohon tunggu...
Intsiawati Ayus. SH.MH
Intsiawati Ayus. SH.MH Mohon Tunggu... -

Berangkat dari praktisi hukum, Saya terpilih kembali menjadi anggota DPD mewakili Provinsi Riau dengan menempati peringkat kedua dengan dukungan suara 144559 suara Dalam pandangan saya, sebagai lembaga baru keberadaan DPD dilihat dari kedudukan, fungsi, dan kewenangan diharapkan mampu melakukan penyempurnaan-penyempurnaan dalam memperjuangkan kepentingan daerah. Pandangan dan harapan masyarakat lebih besar ditujukan kepada anggota dan lembaga DPD ketimbang anggota dan lembaga DPR karena masyarakat memandang anggota dan lembaga DPR lebih berorientasi pada kepentingan kekuasaan dan partai. Anggota DPR masih dipandang sebagai wakil partai, bukan wakil rakyat. Maka dipundak DPD-lah mereka menggantungkan harapan untuk mengubah nasibnya. Silahkan klik, www.intsiawati.com dan blog.intsiawati.com untuk info lengkap.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Amandemen Yang Kabur

2 April 2013   13:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:51 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(www.blog.intsiawati.com ) BELAKANGAN ini muncul banyak wacana bahwa UUD 1945 amandemen ternyata tidak berhasil menciptakan suatu kondisi pemerintahan yang efektif bagi bangsa ini. Ada banyak masalah baru yang menyiratkan kondisi bahwa kita tengah menghadapi suatu krisis konstitusi. Krisis ini tak lepas dari banyaknya segi kelemahan dan kecacatan dalam amandemen pertama hingga keempat, baik itu dari segi substansi maupun dalam pola perubahannya.

Jika menilik hasilnya, perubahan UUD 1945 sepertinya hanya bersifat tambal sulam saja, tidak komprehensif, dan cenderung fragmentaris. Tak heran jika kemudian muncul opini bahwa UUD 1945 amandemen tidak lagi memiliki jiwa konstitusi kenegaraan, paradigma yang jelas, serta konstruksi nilai yang tegas.

Apabila menilik prosesnya, perubahan UUD 1945 pertama hingga keempat cenderung dilakukan secara tidak transparan dan partisipatif. Kala itu subyek yang melakukan perubahan adalah para anggota MPR yang notabene lebih banyak berasal dari partai yang sarat dengan agenda politik jangka pendek dan kepentingan sesaat. Dominasi sikap reaktif terhadap masa lalu terkait euforia reformasi yang sedang berlangung diperburuk pula oleh keterbatasan kompetensi legislasi dari para wakil rakyat. Walhasil, lahirlah sebuah produk konstitusi seperti sekarang ini, produk konstitusi yang cacat.

Bagaimanapun, sebuah konstitusi yang cacat akan memiliki dampak yang buruk terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Krisis konstitusi jelas memberikan pengaruh bagi terjadinya disharmoni kekuasaan yang ujung-ujungnya adalah munculnya kembali kekuatan-kekuatan yang jauh dari harapan reformasi. Untuk itulah maka pengajian kembali terhadap UUD 1945 amandemen sebelum dilakukan amandemen berikutnya menjadi sesuatu yang mendesak sifatnya.

Jika kita kembali menelusuri ke belakang, upaya pengajian terhadap UUD 45 hasil amandemen ini sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Komisi Konstitusi. Kelahiran Komisi Konstitusi dibidani oleh MPR RI hasil Pemilu 1999 dengan Ketetapan MPR RI No.1/MPR/2002 dan Ketetapan MPR RI No. 4/MPR/2003 yang secara gamblang menjelaskan tentang tugas Komisi Konstitusi, yaitu melakukan pengajian secara komprehensif terhadap UUD 1945.

Celakanya, tugas mulia komisi yang beranggota 31 pakar/akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia ini bukan saja dijebak sejumlah koridor sempit penugasan tapi juga pada akhinya mendapat penolakan dalam Rapat Ke-5 BP MPR, PAH I. Semua hasil kerja konstitusi dianggap PAH I tidak sesuai lagi dengan 'penugasan' MPR dan telah keluar dari koridor tugas dan pengertian 'pengajian' yang diamanatkan kepadanya. PAH I BP MPR bahkan menganggap bahwa hasil kerja Komisi Konstitusi tersebut kurang mencerminkan prinsip-prinsip sebuah kajian ilmiah-akademis.

Nah, seperti apakah hasil kerja Komisi Konstitusi yang ditolak MPR tersebut? Sebagai pemilik kedaulatan, meski hasil kerja Komisi Konsitusi tersebut telah ditolak oleh MPR, sudah semestinya rakyat tetap memiliki akses untuk mengetahui hal tersebut. Sebagai anggota DPD, terkait wacana amandemen kelima, ada baiknya penulis paparkan di sini pandangan kajian Komisi Konstitusi tentang sistem bikameral yang saat ini diterapkan di negara kita.

Dalam perdebatan pada sidang-sidang Komisi Konsitusi muncul 3 alasan perlunya MPR menjadi lembaga perwakilan dengan sistem bikameral, yaitu:

Pertama, kebutuhan akan pembenahan sistem ketatanegaraan sehubungan dengan berbagai masalah yang terjadi pada sistem yang lama. Keberadaan utusan daerah dan utusan golongan disamping tidak memiliki fungsi yang efektif juga tidak memiliki orientasi yang jelas dalam mewakili rakyat daerah dan golongan. MPR juga dianggap memiliki kekuasaan yang rancu dalam sistem presidensial karena bisa menjatuhkan presiden melalui mekanisme Sidang Istimewa.

Kedua, kebutuhan untuk mengakomodasikan kepentingan masyarakat daerah secara struktural. Dengan adanya dewan yang secara khusus merepresentasikan wilayah-wilayah maka diharapkan kepentingan masyarakat di daerah akan terakomodasi oleh insitusi formal di tingkat nasional.

Ketiga, kebutuhan bagi reformasi Indonesia saat ini untuk mulai menerapkan sistem checks and balances dalam rangka memperbaiki kehidupan ketatanegaraan dan mendorong demokratisasi. Dengan adanya lembaga perwakilan rakyat dua kamar (bikameral) maka diharapkan lembaga ini akan mampu menjalankan fungsi legislasi dan fungsi kontrolnya dengan lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun