Mohon tunggu...
Indrian Safka Fauzi
Indrian Safka Fauzi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pemuda asal Cimahi, Jawa Barat kelahiran 1 Mei 1994. Praktisi Kesadaran Berketuhanan, Kritikus Fenomena Publik dan Pelayanan Publik. Sang pembelajar dan pemerhati abadi. The Next Leader of Generation.

🌏 Akun Pertama 🌏 My Knowledge is Yours 🌏 The Power of Word can change The World, The Highest Power of Yours is changing Your Character to be The Magnificient. 🌏 Sekarang aktif menulis di Akun Kedua, Link: kompasiana.com/rian94168 🌏

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemajuan Ilmu Humaniora, Masa Depan Peradaban Nusantara

27 September 2022   06:00 Diperbarui: 27 September 2022   06:38 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peradaban Nusantara (Sumber: DOK KEMENTERIAN PUPR - Kompas.com)

Masyarakat Indonesia sampai saat ini masih berkiblat pada Peradaban Barat, terutama Peradaban Negeri Paman Sam.

Yakni Peradaban yang mengandalkan efektivitas dan efisiensi, yang berasal dari teknologi bendawi, sarat objektivitas. Namun apa gerangan bangsa ini semakin memperdalam keilmuan yang sarat objektivitas, mulai mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, memiliki ego tinggi, individualis, materialistis, dan hedonistis. 

Semua berteriak bahagia kalau dapat segepok uang dari hadiah yang didapatnya, fenomena bagi-bagi uang di youtube, biar makin sip biar makin banyak subscriber dan viewer makin meraja.

Semua ini menandakan kita sudah menganggap nominal angka uang yang semakin banyak, semakin menentukan kemujuran kita. Saya makin geleng-geleng kepala dan tepok jidat.

Saya membaca tulisan UIN Malang di link berikut : Masa Depan Ilmu Humaniora dan setelah membacanya, saya menyimpulkan masyarakat nusantara semakin membutuhkan ilmu-ilmu yang sarat subjektivitas yang melibatkan perasaan diri manusia, karena dari rasa nurani yang ia miliki, ia bisa merasakan kebermanfaatan ilmu tersebut secara subjektif. 

Dan subjektif disini melambangkan manusia adalah makhluk, bukan objek.

Perkembangan keilmuan objektivitas, semakin membuat manusia bersandarkan pada teknologi bendawi.

Kita lihat sendiri manusia tidak bisa lepas dari gawainya, sibuk terdistorsi kesadarannya dengan notifikasi berdering di gawainya, entah itu notif WA, Facebook, Instagram, Twitter dan medsos lainnya. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) gak mau ketinggalan hal-hal yang viral, makin menjadi-jadi. 

Manusia semakin memenuhi pikirannya dengan informasi-informasi tidak berguna berdasarkan alogaritma yang menjadi ritme masyarakat menggali informasi. 

Hanya demi membenarkan apa yang ia yakini saja, dan belum tentu yang ia yakini bisa memberikan kebermanfaatan pada dirinya, toh referensinya juga berasal dari medsos, bukan dari media yang kredibilitasnya sudah teruji anti-hoax.

Selain dalam media, perkembangan keilmuan objektivitas semakin membuat manusia konsentrasi membuat kecanggihan senjata bendawi. Pistol, Rifle, Rocket, Tank, bahkan Nuklir menjadi perlombaan bergengsi baik untuk pertahanan negara maupun demi melancarkan agresi. 

Pertanyaan besarnya, kalau benda-benda tersebut kehilangan fungsinya, apakah manusia bisa terus menerus mengandalkan senjata bendawi tersebut? Kenapa sibuk pada benda bukan pada potensi manusia yang dianugerahkan Tuhan?

Indonesia dikaruniai potensi nurani yang melampaui bangsa-bangsa lain.

Berdasarkan riset Mesin Kecerdasan STIFIn (Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling, dan Instinct) yang hanya diketahui oleh sebagian besar pegiat STIFIn. 

Bahwasanya kecerdasan bangsa ini yang paling dominan adalah kecerdasan Feeling. Sehingga tidak aneh, jika bangsa ini dalam kehidupan bermasyarakat secara realitas, merupakan bangsa paling ramah dan murah senyum.

Dengan potensi Feeling ini, jika masyarakat Indonesia mengoptimalkan kecerdasan nurani, maka sejatinya Ilmu Humaniora (terdiri dari bahasa, sastra, seni, kebudayaan, sejarah, filsafat dan kepustakaan) dengan kaidah subjektivitas bisa dikuasai masyarakat, selama memenuhi syarat kebenaran ilmu tersebut yakni:

  • Ada yang dikaji (ontology)

  • Ada metode atau untuk mengkajinya (epistemology)

  • Ada manfaatnya atau kegunaannya (axiology)

Maka peradaban Indonesia dalam hal kemanusiaan tentu menjadi sangat maju dibandingkan bangsa lainnya.

Peradaban bangsa yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan, mencerminkan sikap adiluhung, dimana sikap altruis dan people-oriented makin membumi di seluruh sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

Tentu ini akan dapat menepis semua fenomena buruk yang terlanjur melekat dari budaya barat yang tidak cocok dengan budaya bangsa kita yang cenderung dipaksakan dan malah makin mengental pada karakter masyarakat Nusantara. 

Semakin melekat diri kita dengan hal-hal bendawi, maka secara tidak sadar kita menjadikan manusia sebagai objekan, bukan sebagai subjek, bukan sebagai makhluk Allah. Demi memuaskan nafsu, kenikmatan, dan pemenuhan materi belaka.

Hal itu ditandai dengan aksi kriminalitas, tindakan-tindakan amoral makin menjadi, karena yang dikejar hanyalah bendawi belaka, bahkan menjadikan manusia sebagai objek pemuas birahinya dan diperas untuk memenuhi nafsu materinya semata.

Maka dengan maraknya fenomena merusak demikian. Pertanyaan besar saya ajukan kepada yang berkuasa mengatur dan memprakasai segala kebijakan yang bersangkutan dengan meluasnya fenomena ini. 

Apa yang kalian cari Kementerian Pendidikan, Budaya, dan Riset Teknologi (Kemendikbud Ristek) juga Kementerian Keagamaan (Kemenag) dari kebijakan kalian? 

Apakah benda itu lebih utama dari manusia? Apa yang sebenarnya kalian tanamkan pada pikiran masyarakat melalui kebijakan kalian? Dimanakah letak pertanggungjawaban kalian? Bukankah kalian memiliki kuasa untuk membentuk peradaban bangsa ini?

Saya mengajak masyarakat untuk sama-sama menyadari, bahwa bangsa kita bisa menjadi kiblat peradaban bagi seluruh bangsa. Yang lebih maju dalam hal-hal berketuhanan dan berkemanusiaan. Mari kita sama-sama bahu membahu memajukan segala potensi diri kita sebagai manusia, yang sudah diberikan kelebihan dari makhluk-makhluk lainnya yang ada di muka bumi.

Dengan demikian, rasa percaya diri dan superioritas bangsa ini dalam yang digambarkan oleh Dasar Negara Pancasila, bisa semakin nyata dan membumi. 

Menjadi bangsa yang unggul dalam peradaban berketuhanan dan berkemanusiaan, dalam satu kesatuan dan persatuan, mengutamakan permusyawaratan dan menjunjung perwakilan yang amanah, dan yang masih menjadi cita terbesar bagi kita adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keadilan bisa diperoleh apabila kejujuran membumi di seluruh sendi kehidupan bermasyarakat. Karena kejujuran menandakan adanya kekuatan besar. 

Maka mencari keadilan tanpa kekuatan, adalah sebuah arogansi belaka.

Tertanda.
Rian.
Cimahi, 27 September 2022.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun