Mohon tunggu...
Indrian Safka Fauzi
Indrian Safka Fauzi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pemuda asal Cimahi, Jawa Barat kelahiran 1 Mei 1994. Praktisi Kesadaran Berketuhanan, Kritikus Fenomena Publik dan Pelayanan Publik. Sang pembelajar dan pemerhati abadi. The Next Leader of Generation.

🌏 Akun Pertama 🌏 My Knowledge is Yours 🌏 The Power of Word can change The World, The Highest Power of Yours is changing Your Character to be The Magnificient. 🌏 Sekarang aktif menulis di Akun Kedua, Link: kompasiana.com/rian94168 🌏

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nasib Dirimu Dimulai dari Kata-kata yang Tertulis dan Terucap

25 September 2022   06:15 Diperbarui: 25 September 2022   10:17 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengetik kata demi kata (Sumber: Freepik)

Selamat Pagi Sahabat Kompasianer dan Reader setiaku!

Banyak yang tidak menyadari, bahwasanya Kata-Kata yang kita tulis dan ucap memiliki kekuatan dahsyat, namun ia juga bisa melemahkan.

Penentuan nasib sejatinya dimulai dari kata-kata yang kita ucap dan tulis.

Di dalam kata terdapat arti, makna dan tafsiran. Dan dari arti, makna dan tafsiran kita terhadap sebuah kata yang kita terima, itu tergantung dari referensi yang kita dapatkan melalui inderawi kita yang terbatas. Maka pertanyaannya, apakah kita cenderung mengartikan, memaknai dan menafsirkan kata-kata yang diterima kita dengan arti-makna-tafsir yang menguatkan kita atau melemahkan kita?

Saya memiliki pengalaman berharga. Saat itu saya duduk dalam sebuah undangan acara berdoa bersama, dan paman saya yang terbilang sukses dalam dunia usaha, duduk disamping saya.

Setelah acara doa usai, pertanyaan-pertanyaan tentang diri saya diucapkan beliau. Dimata beliau saya adalah seorang saudara yang dianggapnya memiliki masa lalu yang cukup suram, karena kejadian-kejadian yang dilihat panca indera beliau, mengartikan, memaknai, dan menafsirkan saya sebagai orang yang masih sakit secara psikis.

Namun saya memiliki kesempatan untuk meyakinkan paman saya, bahwa saya adalah seorang yang hebat, memiliki otoritas tinggi di mata publik, juga seorang yang berani. Saya memperlihatkan tulisan-tulisan saya di kompasiana. 

Disanalah beliau merubah keyakinan tentang diri saya, bahwa saya sudah berhasil menaklukan kesakitan saya di masa lampau, saya dianggap sebagai seorang yang hebat, memiliki otoritas tinggi di mata publik dan seorang yang berani melalui bacaan-bacaan yang disuguhkan tulisan saya di Kompasiana.

Pandangan beliau terhadap saya kini berubah. Beliau terkesan segan dan mulai memberikan rasa respect pada saya, karena karya tulis saya hebat dan luar biasa di mata beliau. 

Saya pun tersenyum, saya kemudian makin meyakinkan beliau bahwa saya adalah seorang yang berwawasan, dengan unjuk kebolehan diri untuk melihat potensi paman saya. Dan paman saya membenarkan setiap ucapan saya, yang memang dirasakan kebermanfaatannya.

Maka kini beliau sudah berparadigma, bahwa saya adalah orang hebat, memiliki otoritas tinggi di mata publik dan seorang yang berani. Ini karena kata-kata yang saya ucap dan tulis, dan juga dari tindakan saya yang sarat moral dan etis di mata beliau.

Dengan demikian: Kalau kita meyakini bahwa kita ini adalah hebat, memiliki otoritas tinggi di mata publik, seorang yang berani, dan keyakinan ini diulang terus menerus. Niscaya keyakinan tersebut menjadi sebuah realitas. Mengapa bisa begitu?

Sistem belief kita secara otomatis membenarkan dan menguatkan keyakinan diatas, yang kemudian masuk kedalam alam bawah sadar kita dan menjadi bingkai berfikir diri kita (Frame of Mind) atau bahasa akademisnya paradigma kita dalam mengartikan, memaknai dan menafsirkan dunia. 

Pada akhirnya belief kita tersebut mempengaruhi kita dalam bertindak, tindakan yang kita ulang terus menerus membentuk kebiasaan kita, kebiasaan kita membentuk karakter kita, dan karakter kita jika diridhai oleh Tuhan Yang Maha Esa, menjadi sebuah keniscayaan akan nasib kita. Ini adalah rumus mutlak kehidupan.

Maka dari itu penentuan nasib, tidak hanya berhenti pada kata-kata, melainkan dilanjutkan pada tindakan kita secara realitas baik di lingkungan terkecil keluarga, kemudian meluas ke lingkungan masyarakat, dan terus meluas sampai dunia mengenal tindakan-tindakan kita.

Pada akhirnya sistem belief terbentuk dengan sendirinya pada diri masyarakat, dan masyarakat makin mencintai segala ucap, tindak, kebiasaan dan karakter kita. 

Kita lihat sendiri bagaimana masyarakat dunia mengartikan, memaknai dan menafsirkan fenomena pemakaman tokoh besar dunia seperti Ratu Elisabeth II yang sampai saat ini masih terkenang dimemori masyarakat dunia? Bagaimana perlakuan masyarakat atas jenazah beliau? Apakah perlakuannya yang diterima jenazah beliau? Baik-kah atau buruk-kah?

Apa arti yang terbayangkan dari setiap kata-kata yang beliau ucap dan tulis, dan apa arti, makna dan tafsir yang kita dapat sesuai referensi yang ditangkap panca indera kita terhadap beliau?

Itulah yang menjadikan penentuan nasib kita. Dimulai dari kata-kata yang melahirkan tindakan. Disanalah lingkungan kita dari yang terkecil dan terbesar, menentukan pandangan beliau semua yang ada pada lingkungan tersebut, beliau semua mengartikan, memaknai dan menafsirkan segala ucap tulis dan tindakan kita. Hingga akhirnya melahirkan perlakuan-perlakuan yang kita terima dari masyarakat lingkungan dimana kita berada.

Maka dari proses itulah, menentukan nasib yang kelak kita terima dan rasakan.

Tertanda.
Rian.
Cimahi, 25 September 2022.

Indrian Safka Fauzi untuk Kompasiana.
For our spirit... Never Die!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun