Mohon tunggu...
Intan Safina Azura
Intan Safina Azura Mohon Tunggu... Mahasiswa Akuntansi Politeknik Keuangan Negara STAN

Saya sangat tertarik dengan ekonomi, manajemen, dan akuntansi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kemiskinan Struktural di Indonesia: Mengurai Fenomena "Terlahir Miskin, Selamanya Miskin" dalam Konteks Kebijakan Ekonomi dan Ketahanan Pangan

23 Februari 2025   16:13 Diperbarui: 23 Februari 2025   16:12 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kemiskinan masih menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Meski pemerintah telah meluncurkan berbagai program pengentasan kemiskinan, nyatanya angka kemiskinan masih tinggi di kisaran 8,57% atau sekitar 24,06 juta orang per September 2024 atau menurun 0,46% dari Maret 2024, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Yang lebih menyedihkan, kemiskinan di Indonesia seolah menjadi warisan turun-temurun, yaitu banyak keluarga yang terlahir miskin, tetap miskin. Hal ini dapat terlihat dari penerima bantuan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang terus menerus menerima bantuan dan tidak menunjukkan kemandirian secara ekonomi.

Fenomena semacam ini dikenal sebagai kemiskinan struktural, di mana sistem ekonomi, sosial, dan politik membuat sekelompok masyarakat sulit keluar dari kemiskinan. Lantas, apa yang salah dengan kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia? Bagaimana kondisi perekonomian dan kebijakan saat ini memengaruhi kemiskinan? Dan apa implikasinya bagi masa depan Indonesia?

BLT dan Kemiskinan yang Tak Kunjung Usai

Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah salah satu program andalan pemerintah untuk mengurangi beban ekonomi masyarakat miskin. Namun, polemik sifat bantuan dan distribusi penerimaannya terus berlanjut. Mengutip apa yang disampaikan oleh Trubus Rahardiansyah, Dosen Universitas Trisakti dalam BBC News Indonesia yang mengibaratkan BLT seperti memberi obat paracetamol pada orang sakit, “Sekedar paracetamol saja, bahwa kamu saya kasih obat. Tetapi penyakit yang sesungguhnya tidak hanya sakit kepala atau demam, tapi ada sakit yang lain, yang lebih jauh. Ketika dikasih paracetamol ya tidak mempan.”

Dalam hal ini, BLT memang membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi tidak membekali penerimanya dengan kemampuan untuk mandiri secara ekonomi. Akibatnya, kemiskinan seolah menjadi siklus yang tak terputus. Anak-anak dari keluarga miskin cenderung tetap miskin karena kurangnya akses pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja yang layak.

Kebijakan Ekonomi 2024-2025: Makan Bergizi Gratis, Efisiensi Anggaran, Subsidi dan Dampaknya pada Kemiskinan

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan di tahun 2024-2025. Salah satunya adalah program efisiensi anggaran melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Meski efisiensi penting untuk memastikan penggunaan dana yang optimal, seringkali hal ini justru mengurangi alokasi anggaran untuk program-program pengentasan kemiskinan. Di sisi lain, program makan bergizi gratis yang digagas pemerintah dinilai memiliki potensi besar untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan. Namun, implementasinya masih menghadapi tantangan, seperti keterbatasan anggaran dan distribusi yang tidak merata.

Subsidi tabung gas LPG juga menjadi kebijakan yang kontroversial. Meskipun membantu rumah tangga miskin menghemat pengeluaran, subsidi ini seringkali tidak tepat sasaran. Untuk mengatasi hal tersebut, selanjutnya pemerintah memberlakukan pemutusan pengecer gas LPG 3 Kg, sehingga masyarakat hanya dapat membelinya melalui pangkalan. Akan tetapi kebijakan yang berlaku ini menyebabkan terjadinya antrian yang membludak dan tidak terkendali hingga berujung kelangkaan gas LPG 3 Kg.

Kebijakan Apa yang Dapat Dilanjutkan?

Pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan yang dapat mengurangi kemiskinan. Salah satunya adalah Program Padat Karya Tunai yang diperluas ke sektor pertanian dan infrastruktur pedesaan. Program ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja sementara bagi masyarakat miskin, sekaligus meningkatkan produktivitas sektor pertanian.

Selain itu, pemerintah juga meningkatkan alokasi anggaran untuk program pemberdayaan UMKM. Hal ini menjadi penting bagi perekonomian global karena UMKM merupakan pondasi perekonomian nasional. Kebijakan pemerintah dalam rangka pemberdayaan UMKM, antara lain melalui pembangunan infrastruktur konektivitas digital, program pembiayaan melalui KUR dan pembiayaan Ultra Micro (UMi), digitalisasi UMKM, serta sinergi dan koordinasi dengan sektor publik. Pemberdayaan ini diharapkan dapat meningkatan pendapatan serta penciptaan lapangan pekerjaan yang secara tidak langsung ikut menurunkan angka kemiskinan di Indonesia.

Namun, kebijakan-kebijakan ini tidak akan efektif jika tidak didukung dengan implementasi yang baik. Berkaca dari program seperti BLT yang menuai banyak masalah, sasaran dari penerima bantuan haruslah tepat dan sesuai. Kriteria hingga besaran proporsi yang menerima bantuan harus terukur serta secara transparan dan dapat dipertangungjawabkan.

Shifting Kelas Menengah ke Miskin: Dampak 'Chilean Paradox'

Fenomena lain yang patut diperhatikan dalam kemiskinan adalah shifting kelas menengah ke miskin, yang dikenal sebagai "chilean paradox". Krisis ekonomi, inflasi, dan PHK massal selama pandemi Covid-19 telah membuat banyak keluarga kelas menengah kehilangan pendapatan dan jatuh ke dalam kemiskinan.

Data BPS menunjukkan bahwa pada 2024, terdapat 47,85 juta penduduk kelas menengah, jumlahnya menurun dibandingkan tahun 2019 yang berjumlah 57,33 juta jiwa. Sebaliknya, kelompok masyarakat menuju kelas menengah mengalami kenaikan dalam 2019-2024. Pada 2019, jumlahnya mencapai 128,85 juta, meningkat jadi 137,5 juta pada 2024. Selanjutnya, kelompok miskin turut mengalami kenaikan dari 25,14 juta di 2019 menjadi 25,22 juta pada 2024. Kelompok rentan miskin juga naik dari 54,97 juta pada 2019 menjadi 67,69 juta di 2024. Perubahan kelas ini tidak hanya memperburuk ketimpangan pendapatan, tetapi juga menambah beban pemerintah dalam mengatasi kemiskinan.

Apa yang Harus Dilakukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun