Pendahuluan
Reformasi fiskal menjadi bagian penting dalam transformasi ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara secara optimal. Pajak merupakan kontributor terbesar bagi pendapatan negara, tetapi realisasi penerimaan pajak di Indonesia masih jauh dari harapan. Tax ratio Indonesia tercatat hanya mencapai 10,12% pada tahun 2024, lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand (17,18%), Vietnam (16,21%), dan Singapura (12,96%) (Pusat Penelitian DPR RI, 2024). Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya tax ratio adalah sistem administrasi perpajakan yang masih belum memadai. Seiring bertambahnya jumlah wajib pajak dan perkembangan digitalisasi global, sistem yang ada saat ini menghadapi tantangan besar dalam menjangkau dan mengakomodasi kebutuhan wajib pajak secara efektif.
Sebagai bagian dari reformasi perpajakan, pemerintah meluncurkan Core Tax Administration System (Coretax) pada 1 Januari 2025. Sistem ini diharapkan mampu meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan dengan mengintegrasikan seluruh layanan perpajakan ke dalam satu platform digital yang lebih modern. Namun, dalam praktiknya, implementasi Coretax menghadapi berbagai tantangan. Dalam bulan pertama penerapannya, sistem ini mengalami berbagai gangguan teknis yang berdampak pada kelancaran pelaporan pajak. Selain itu, banyak wajib pajak yang mengeluhkan kurangnya sosialisasi dan kesiapan infrastruktur dalam mendukung penggunaan sistem ini.Â
ISI
Tantangan Implementasi Coretax 2025
Coretax menghadapi berbagai tantangan teknis sejak hari pertama peluncurannya, termasuk kelebihan beban server, bug dalam integrasi data dengan aplikasi pendukung seperti e-Faktur dan e-Bupot, serta ketidakstabilan antarmuka sistem. Permasalahan ini berdampak pada pelaporan pajak yang terganggu, menyebabkan keterlambatan dalam pemrosesan data dan meningkatnya keluhan dari wajib pajak. Sebagai respons terhadap kendala tersebut, pemerintah mengambil langkah untuk mengaktifkan kembali sistem lama, Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP), guna memastikan kelancaran pelaporan pajak. Langkah ini menimbulkan dualisme sistem yang membingungkan wajib pajak, karena pelaporan SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan untuk tahun pajak 2024 tetap menggunakan sistem e-Filing yang lama, sementara beberapa aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai beralih ke Coretax (Rahayu & Djumena, 2025).
Tantangan implementasi Coretax juga terlihat dari survei Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), yang mengungkapkan bahwa banyak pelaku usaha menghadapi kendala teknis dalam penggunaan sistem tersebut. Sebagai respons, APINDO mengusulkan agar masa transisi diperpanjang dari tiga bulan menjadi enam bulan, atau bahkan satu tahun, untuk memberikan waktu yang lebih memadai bagi dunia usaha dalam menyesuaikan infrastruktur TI mereka terhadap Coretax. Usulan ini mencerminkan perlunya strategi implementasi yang lebih bertahap guna memastikan kesiapan semua pemangku kepentingan dalam menghadapi perubahan sistem administrasi perpajakan (Theodora, 2025). Selain itu, banyak UMKM mengalami kesulitan dalam memahami tata cara registrasi dan pelaporan yang lebih kompleks dibandingkan dengan sistem sebelumnya. Implikasi dari perubahan ini menuntut adanya pendampingan yang lebih intensif bagi para wajib pajak dalam menyesuaikan diri dengan sistem baru (Dwibaskoro, 2025).
Di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), tantangan infrastruktur digital masih menjadi kendala dalam penerapan sistem perpajakan berbasis digital. Data dari Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa pada tahun 2022, 66,48% penduduk Indonesia telah mengakses internet, meningkat dari 62,10% pada tahun 2021. Namun, kesenjangan akses internet antara wilayah barat dan timur Indonesia masih signifikan. Kabupaten Sumba Barat Daya, misalnya, masih mengalami keterbatasan dalam infrastruktur digital, yang menghambat adopsi sistem berbasis daring seperti Coretax (CIPS, 2024).
Respons Pemerintah dan DPR
Pada 10 Februari 2025, Komisi XI DPR RI dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sepakat untuk mempertahankan penggunaan sistem pajak lama sepanjang tahun 2025 sebagai langkah mitigasi risiko terkait implementasi Coretax. Keputusan ini diambil setelah rapat tertutup yang berlangsung selama empat jam, membahas berbagai permasalahan yang muncul akibat gangguan pada sistem Coretax. Salah satu pertimbangan utama adalah potensi penurunan penerimaan pajak yang signifikan akibat gangguan tersebut (Theodora, 2025).
Sebagai bagian dari upaya perbaikan, DPR meminta DJP untuk menyusun roadmap implementasi Coretax dengan target perbaikan bertahap. DPR dan DJP telah menegaskan bahwa peta jalan implementasi Coretax harus berbasis risiko rendah, memastikan transisi yang lebih aman bagi wajib pajak (Antara, 2025).
DJP diwajibkan untuk melaporkan kemajuan implementasi ini kepada DPR secara berkala melalui situs resmi DJP (Rahayu & Djumena, 2025). Langkah-langkah ini diharapkan dapat memastikan bahwa implementasi Coretax berjalan dengan risiko minimal dan tidak mengganggu penerimaan pajak negara.
Solusi Optimalkan Coretax
Untuk memastikan keberhasilan Coretax, beberapa langkah strategis harus diterapkan:
- Peningkatan Infrastruktur Digital, pemerintah perlu mempercepat pembangunan infrastruktur teknologi informasi, terutama di daerah 3T.Â
- Optimalisasi Pelatihan dan Sosialisasi Pelatihan intensif bagi petugas pajak dan edukasi bagi wajib pajak harus ditingkatkan. Program "Tax Relawan" yang melibatkan relawan mahasiswa untuk sumber daya tambahan yang membantu fiskus pajak dan juga "Tax Content" yakni penggunaan platform media sosial seperti TikTok dan YouTube dapat membantu meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap sistem Coretax.
- Kolaborasi dengan Sektor Swasta, pemerintah perlu menggandeng sektor perbankan dan fintech untuk mendukung integrasi data perpajakan secara otomatis.Â
- Peningkatan Keamanan Data dan Transparansi Dengan meningkatnya digitalisasi perpajakan, ancaman terhadap keamanan data juga semakin besar. Audit berkala oleh lembaga independen serta publikasi laporan transparansi bulanan mengenai perbaikan Coretax harus dilakukan untuk membangun kepercayaan publik.
- Penerapan Insentif bagi Wajib Pajak Untuk meningkatkan kepatuhan pajak, pemerintah dapat memberikan insentif bagi wajib pajak yang menggunakan Coretax, seperti potongan administrasi atau akses prioritas ke layanan pajak lainnya.Â
Penutup
Implementasi Coretax 2025 menjadi tantangan besar bagi transformasi digital sistem perpajakan Indonesia. Jika pemerintah tidak hanya berfokus pada teknologi tetapi juga memastikan kesiapan ekosistem, transparansi kebijakan, serta kolaborasi multisektor, sistem ini dapat menjadi fondasi yang kuat dalam meningkatkan tax ratio. Namun, perbaikan sistem ini tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada komitmen politik untuk mendengarkan suara wajib pajak dan menyesuaikan regulasi perpajakan dengan kebutuhan ekonomi nasional.