Pagi tadi ku tengok perasaanmu yang terluka, lalu kudapati kau bersenda gurau dengan gerimis, menciptakan tawa dan tangis yang bersahutan. Lalu ku raih tanganmu yang pernah lara, kupeluk dirimu yang basah, hingga kau hilang rasa.
Siang ini tergores kembali hatimu, dan kau berteriak menyeru, dunia bukan tempat yang berpihak kepadamu. Lalu kubersihkan lukamu, kuhapus tangismu, kudekap jiwamu yang runtuh. Mati sudah hatimu, hingga kau hilang rasa.
Sore ini kau tampak bahagia, bersiul menyapa burung gereja yang mendatangimu. Oh ternyata matahari kembali menyeruak, gerimis telah henti, dan lukamu mulai tak nampak, tetapi nampaknya yang kau tunggu tak juga tiba. Hingga kau hilang rasa.
Malam pun tiba. Kau memerintahkan ku memperhatikan langit, "jika ada bintang jatuh, atau gerhana bulan, segeralah menyeruku !" Itu katamu. Aku yang naif, lantas ku ikuti perintahmu, yang seolah sebuah hipnotis tukang sulap. Bintang tak satu pun jatuh, gerhana, jangankan muncul, bulan pun malu-malu malam itu. Hanya dia yang kudapati sedang bersamamu, bermain kembang api sambil berlari mengejar kunang-kunang, dan kulihat kau tersenyum. Saat itulah aku sadar, malam itu sedang hujan, dan membuatku hilang rasa.