Di dunia modern yang membuat kita mudah untuk semakin terhubung dan kompetitif, keberhasilan dalam perdagangan internasional bukan hanya ditentukan dari seberapa besar kapasitas suatu negara untuk membuka pintu bagi barang dan jasa asing, tetapi juga oleh bagaimana negara tersebut memainkan peran aktif dalam membangun daya saing domestik. Hal ini menjadi sangat penting, terutama bagi negara-negara berkembang yang kerap kali dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana memperbaiki neraca perdagangan yang sering kali defisit, dan bagaimana memanfaatkan globalisasi untuk meraih keuntungan ekonomi tanpa kehilangan kendali atas perekonomian domestik mereka.
Vietnam, negara yang dulunya terisolasi akibat sejarah panjang konflik, kini bisa dianggap sebagai salah satu contoh sukses transformasi ekonomi negara berkembang. Keberhasilan Vietnam tidak datang begitu saja. Negara ini telah berhasil menavigasi arus besar globalisasi dengan cerdas, memanfaatkan perjanjian-perjanjian dagang internasional seperti CPTPP (Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership) dan EVFTA (European Union-Vietnam Free Trade Agreement) untuk meningkatkan daya saingnya di pasar global, sekaligus memperbaiki posisi neraca perdagangannya. Bahkan, meskipun terimbas oleh krisis global seperti pandemi COVID-19, Vietnam mampu mempertahankan surplus perdagangan, yang menunjukkan ketangguhannya dalam menghadapi tantangan ekonomi.
Namun, jika kita menelisik lebih dalam, pertanyaan yang perlu diajukan adalah: Apa yang membuat Vietnam begitu sukses dalam strategi perdagangan internasionalnya, dan bagaimana negara ini berhasil memanfaatkan globalisasi bukan sekadar sebagai penerima dampak, tetapi sebagai aktor yang mempengaruhi arah perdagangan dunia? Apakah negara berkembang lainnya bisa meniru keberhasilan Vietnam, atau adakah faktor-faktor unik yang menjadikan Vietnam berbeda dalam menghadapi tantangan globalisasi?
Dengan semakin banyaknya perjanjian dagang yang menawarkan akses pasar internasional, muncul juga berbagai pertanyaan tentang apakah negara-negara berkembang cukup siap untuk memanfaatkan peluang tersebut tanpa terjebak dalam ketergantungan atau ketidakberdayaan. Mungkin, kita perlu mulai berpikir lebih kritis tentang bagaimana negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, bisa merancang kebijakan ekonomi yang tidak hanya bergantung pada kebijakan pasar terbuka, tetapi juga mampu mendukung sektor domestik dan meningkatkan daya saing dalam persaingan global yang semakin ketat.
Vietnam, dalam hal ini, mengajarkan kita bahwa kunci utama keberhasilan perdagangan internasional bukan hanya tentang memperluas pasar dan menurunkan tarif, tetapi tentang bagaimana negara memainkan peran aktif dalam merancang kebijakan yang mendukung industri lokal, meningkatkan kualitas produk, serta merespons dengan cerdas peluang yang ditawarkan oleh sistem perdagangan global yang semakin terbuka.
Sebagai bagian dari diskusi ini, kita bisa merenungkan satu hal penting: apakah negara berkembang seperti Indonesia, dengan potensi dan sumber daya alam yang melimpah, siap untuk mengikuti jejak Vietnam dalam meraih kemajuan perdagangan global, atau adakah hambatan struktural yang masih perlu diatasi? Dalam menghadapi tantangan ini, mungkin ada pelajaran besar yang bisa kita petik dari pengalaman Vietnam dalam mengoptimalkan keuntungan dari perjanjian dagang internasional yang tepat sasaran.
Pada dasarnya, neraca perdagangan adalah perbandingan antara ekspor dan impor suatu negara. Ketika ekspor melebihi impor, negara mengalami surplus perdagangan, sedangkan sebaliknya akan terjadi defisit. Tetapi, seperti yang dijelaskan oleh Robert Gilpin dalam bukunya Global Political Economy (2001), neraca perdagangan bukan hanya sekadar angka statistik. Ia mencerminkan bagaimana sebuah negara memanfaatkan kesempatan dalam perdagangan internasional dan bagaimana negara tersebut bisa menggunakan pengaruh politik-ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan domestiknya.
Vietnam berhasil mengelola neraca perdagangannya dengan strategi yang tepat. Sebagai negara berkembang, Vietnam tidak hanya mengandalkan pasar terbuka, melainkan memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh perjanjian dagang internasional untuk memperbaiki posisi ekonominya.
CPTPP: Akses Pasar yang Luas
Dengan bergabung dalam CPTPP, Vietnam mendapatkan akses ke pasar yang sangat besar. Perjanjian ini mencakup sebelas negara di kawasan Pasifik, seperti Jepang, Kanada, dan Australia, yang mewakili sekitar 13,4 persen dari ekonomi global. Salah satu keuntungan utama dari CPTPP adalah penghapusan tarif untuk banyak produk ekspor Vietnam, seperti tekstil, elektronik, dan produk pertanian, yang sangat penting untuk ekonomi Vietnam.
Melalui perjanjian ini, Vietnam dapat meningkatkan daya saingnya dalam rantai pasokan global. Banyak negara anggota CPTPP adalah pemain besar dalam perdagangan internasional, sehingga bergabung dengan mereka memberi Vietnam peluang besar untuk memperluas jangkauan ekspornya. Vietnam tidak hanya meningkatkan jumlah ekspornya, tetapi juga memperbaiki kualitas produk untuk memenuhi standar internasional.
EVFTA: Menembus Pasar Uni Eropa
Selain CPTPP, Vietnam juga memperoleh keuntungan besar dari perjanjian EVFTA dengan Uni Eropa. Perjanjian ini menghapus hampir 99 persen tarif antara kedua belah pihak dan membuka pintu pasar Eropa yang sangat besar dan memiliki daya beli tinggi. Sebagai contoh, barang-barang seperti elektronik, sepatu, tekstil, dan produk pertanian Vietnam kini dapat dengan mudah masuk ke pasar Uni Eropa, yang sebelumnya sulit dijangkau karena tarif tinggi dan pembatasan lainnya.
Uni Eropa dikenal memiliki standar kualitas yang sangat ketat. Dengan adanya EVFTA, Vietnam dapat lebih mudah memenuhi standar tersebut dan meningkatkan kualitas produk mereka, sehingga lebih kompetitif di pasar Eropa. Selain itu, perjanjian ini juga mendorong investasi dan transfer teknologi dari perusahaan-perusahaan Eropa, yang pada gilirannya memperkuat kapasitas produksi dan inovasi industri Vietnam.
Strategi Domestik yang Mendukung Ekspor
Namun, membuka pasar internasional bukanlah satu-satunya langkah yang diambil oleh Vietnam. Keberhasilan negara ini dalam meningkatkan ekspor juga tak lepas dari peran aktif pemerintah dalam mendukung daya saing domestik. Pemerintah Vietnam tidak hanya membiarkan pasar terbuka bekerja begitu saja, tetapi mereka juga mengintervensi untuk memastikan sektor-sektor utama seperti tekstil, elektronik, dan pertanian dapat bersaing di pasar internasional. Ini mencerminkan salah satu teori penting dalam ekonomi yang dikemukakan oleh David Ricardo dalam teori keunggulan komparatif (1817).
Menurut teori ini, negara sebaiknya fokus pada sektor-sektor di mana mereka memiliki efisiensi lebih tinggi dalam produksi. Di Vietnam, sektor-sektor seperti tekstil dan elektronik memiliki biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan negara lain. Keunggulan ini memberi Vietnam kesempatan untuk menawarkan harga yang lebih kompetitif di pasar internasional, sekaligus menjaga kualitas produk agar tetap sesuai dengan permintaan pasar global. Melalui kebijakan yang mendukung kualitas produk dan efisiensi biaya, Vietnam berhasil menonjolkan diri sebagai produsen yang unggul di pasar global.
Hasil dari kebijakan ini sudah jelas terlihat. Bahkan saat pandemi COVID-19 yang melanda dunia, Vietnam tetap dapat mempertahankan surplus neraca perdagangannya. Data dari World Bank (2022) menunjukkan bahwa ekspor Vietnam tumbuh hampir 20% pada tahun 2021, meskipun dunia sedang dilanda krisis ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan strategi yang tepat, negara berkembang pun bisa meraih kesuksesan dalam perdagangan internasional.
Kasus Vietnam memberikan pelajaran penting bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, bahwa keberhasilan dalam perdagangan internasional bukan hanya soal membuka pintu bagi pasar global, tetapi juga tentang merancang kebijakan yang memperkuat daya saing domestik. Vietnam telah menunjukkan bahwa dengan kebijakan ekonomi yang terencana dan pengelolaan peluang global yang cerdas, negara berkembang bisa meraih posisi yang kuat di pasar internasional. Keberhasilan ini mengingatkan kita bahwa negara harus mampu memanfaatkan globalisasi sebagai alat untuk kemajuan ekonomi, bukan sekadar menjadi penerima dampaknya. Negara lain kini dihadapkan pada tantangan untuk tidak hanya berkompetisi, tetapi juga mendominasi dalam pasar global dengan strategi ekonomi yang tepat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI