Mohon tunggu...
intan rahmadewi
intan rahmadewi Mohon Tunggu... Wiraswasta - bisnis woman

seorang yang sangat menyukai fashion

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjaga Indonesia Tanpa Khilafah

11 Mei 2017   05:07 Diperbarui: 11 Mei 2017   05:34 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Damai Indonesia - kompasiana.com

Baru-baru saja, pemerintah memutuskan untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia. Dan saat ini, proses hukum akan ditempuh untuk membubarkan organisasi ini. HTI yang masuk ke Indonesia pada tahun 1980 an ini, dianggap menyalahi rencana pendirinnya yang berbanda hukum perkumpulan itu. HTI selalu mendorong untuk mengganti ideologi Pancasila menjadi ideologi khilafah. Pemerintah beranggapan, kekhilafahan tidak tepat diterapkan di Indonesia, karena bertentangan dengan karakter Indonesia yang beragam dengan berbagai macam suku dan budayanya.

Konsep kekhilafahan tidak mau menghargai keberagaman. Konsep ini merasa dirinya paling benar, dan tidak bersifat terbuka. Ironisnya, pihak-pihak yang berbeda, dianggap sebagai sebuah kesalahan dan harus mendapatkan sanksi. Tidak hanya itu, seseorang yang dianggap berbeda keyakinan begitu mudah dilabeli dengan sebutan ‘kafir’. Kalau sudah begitu, maka segala tindak kekerasan yang terhadap orang yang dianggap ‘kafir’ diperbolehkan. Lalu, apa bedanya HTI dengan FPI atau bahkan kelompok teroris?

Padahal, organisasi radikal ini merupakan kelompok yang baru muncul setelah era reformasi. Mereka sama sekali tidak terlibat dalam proses perjuangan merebut kemerdekaan. Sejauh ini, mereka juga tidak menunjukkan kontribusi positifnya kepada negara. Sebaliknya, mereka justru mengajarkan dan selalu menunjukkan bibit-bibit intoleransi dan radikalisme. HTI bergerak pada tataran pemikiran dan ideologi. Tak heran jika mereka selalu mengklaim bahwa dirinya sebagai lembaga dakwah. Disisi lain, FPI juga cenderung menunjukkan bibit intoleransi dan radikalisme melalui ujaran dan perilaku.

Akibat maraknya ujaran kebencian dan tindakan radikal, serta propaganda radikalisme dan kekhilafahan, keberagaman Indonesia terancam terganggu. Banyak contoh yang menunjukkan hal ini. beberapa bulan lalu, 14 sekolah menengah atas di Cilacap Jawa Tengah, ditemukan oknum guru yang mengajarkan radikalisme kepada siswanya. Oknum guru itu diduga merupakan anggota HTI. Organisasi ini juga banyak masuk ke kampus-kampus. Bahkan di perguruan tinggi negeri di Indonesia, organisasi ini mempunyai banyak pengikut. Nah, jika generasi muda yang sudah terpapar ideologi ini, mereka berpotensi bisa melakukan tindakan radikal seperti yang ditunjukkan FPI dan organisasi radikal lainnya.

Nah, disisi lain, proses propaganda dan rekrutmen yang dilakukan kelompok teroris juga terus berjalan. Bahrun Naim dan jaringannya begitu masif memanfaatkan kecanggihan teknologi ini. Banyak orang belajar radikalisme secara online. Jika orang-orang yang sudah terpapar ini, akan mudah dipengaruhi untuk melakukan tindakan amaliyah. Dan tindakan itu biasanya dilakukan dalam bentuk bom bunuh diri, menyerang polisi, menyerang simbol-simbol barat dan lain sebagainya. Perempuan yang ditangkap di Bekasi, yang akan meledakan bom panci adalah salah satu contohnya. Berawal dari dunia maya, kemudian kenal dengan komunitas radikal, menikah dan melakukan amaliyah.

Karena itulah, membubarkan HTI bukanlah merupakan sikap anti Islam atau membatasi kebebasan masyarakat untuk berserikat. Jika ajaran yang mereka lakukan masih dalam koridor Pancasila dan NKRI, tentu tidak ada alasan untuk membubarkan. Meski kita juga sadar, membubarkan organisasi bukanlah solusi mutlak. Karena yang namanya bibit intoleransi, radikalisme dan terorisme telah menyebar melalui kecanggihan teknologi. Lantas, mungkinkah Indonesia bisa terbebas dari hal ini? Sepanjang ada komitmen bersama, dan menerapkan nilai Pancasila dalam setiap ujaran dan perilaku sehari-hari, tidak menutup kemungkinan negeri yang toleran ini akan bebas dari intoleransi, radikalisme dan terorisme.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun