Mohon tunggu...
intan rahmadewi
intan rahmadewi Mohon Tunggu... Wiraswasta - bisnis woman

seorang yang sangat menyukai fashion

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Terjebak Siasat Politik Identitas

17 Juni 2022   09:58 Diperbarui: 17 Juni 2022   10:02 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penggunaan politik identitas dalam perhelatan politik Indonesia seperti Pilpres dan Pilkada terus dilakukan selama kurang lebih satu dekade ini. Naga-naganya untuk Pilpres pada tahun 2024 dua tahun lagi, isu ini terus akan dilakukan. Terbukti beberapa waktu lalu publik dikejutkan oleh adanya mirip bendera organisasi terlarang HTI dalam  deklarasi salah satu calon presiden meski kemudian aparat menegaskan bahwa itu bukan bendera HTI.

Ini menunjukkan bahwa ada beberapa pihak yang memang menginginkan politik identitgas selalu muncul dalam persoalan politik dan mungkin dalam berbagai persoalan di Indonesia. Kita dipecah belah dengan isu politik identitas. Seorang mayoritas berbantah-bantahan dengan seorang yang beragama minoritas hanya karena hal sepele, dan itu berlangsung di ranah nyata maupun di media sosial.

Tak pelak, Pilkada Jakarta yang dilandasi dengan politik identitas dan disiram dengan rasa benci, menjadikan masyarakat Jakarta terbelah. Sang oposisi yang merupakan golongan minoritas terjungkal dan akhirnya dipenjara karena tuduhan melecehkan ayat suci Al Quran dalam hal ini surat al Maidah.

Terlebih dalam satu dekade ini, isu ini memang efektif dalam pertarungan politik. Masyarakat selalu diingatkan bahwa mayoritas seharusnya diberi kekuasaan yang lebih banyak meski sebenarnya Indonesia punya ratusan bahkan ribuan perbedaan. Mulai dari bahasa daerah, keyakinan dan agama, warna kulit, suku dan adat. Indonesia dibentuk dan dibangun dengan dasar perbedaan ini sehingga tidak bisa selalu  menuntut agar mayoritas (misal suku jawa dan Islam) untuk selalu menjadi pemimpin.

Mindset ini penting karena ada kalanya memang seorang pemimpin bisa berasal dari seorang dengan suku Manado dan mungkin beragama Kristen. Atau seorang dari suku Sasak dan beragama Islam. Kita bisa lihat Kapolri sekarang yang  pemimpin ratusan anggota polisi  adalah seorang Jenderal yang beragama Katolik. Dia terpilih karena sistem meritokrasi (kemampuan dan prestasi). Dari contoh ini bisa menyadarkan kita bahwa kita yang dibangun dengan berbagai perbedaan bisa menerima siapapun pemimpin asal dia mampu mewujudkan kesejahteraan dan kebaikan bagi semua rakyat Indonesia.

Kontestasi politik memang dua tahun lagi. Namun  genderang sepertinya sudah bertabuh. Sebagai rakyat yang akan memilih dua tahun lagi hal itu memang menyesakkan hati karena kita terlalu panjang akan mendengar para calon ini beradu di alam nyata maupun di media sosial.

Yang harus kita ingat adalah jangan sampai kita terjebak dengan siasat politik identitas dalam memilih calon pemimpin. Karena seharusnya pemimpin adalah sosok yang baik dan mampu membawa Indonesia dan masyarakatnya lebih baik lagi. Apapun agama dan sukunya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun