Di Indonesia, kita mengenal penyanyi Iwan Fals dengan baik.Nama  fals yang ada di belakangnya berawal dari steman gitar yang tidak tepat sehingga menghasilkan nada yang fals. Sejak itu dia menambahkan nama fals di belakang namanya.
Bagi beberapa pihak Iwan Fals bukan sembarangan. Ia dikenal tidak hanya oleh  para generasi baby bommer namun juga generasi X dan sebagian generasi Y. Dua generasi pertama yang saya sebutkan pernah hidup pada zaman Orde Baru dimana Iwan Fals banyak menciptakan lagu yang bersifat kritik terhadap pemerintah. Lagunya ibarat katarsis bagi keadaan yang represif (tertekan), kritik sosial dll, yang berlangsung nyaris selama 32 tahun, Soeharto berkuasa.
Mulai dari lagu surat untuk wakil rakyat, sugali, pesawat tempur,sore tuku pancoran, sarjana muda, tikus-tikus kantor, galang rambu anarki. Surat untuk wakil rakyat ditujukan Iwan untuk mengkritik kinerja DPR yang dinilai tidak bisa menyalurkan aspirasi masyarakat dengan baik. DPR ketika itu hanya sering terdengar 'setuju' atau ketahuan tidur saat sidang. Padahal rakyat sudah membayar mereka dengan cukup melalui pajak yang harus dibayarkan. Begitu juga lagu Bento dan Bongkar yang diciptakan beberapa tahun sebelum rezim Soeharto tumbang.
Pada masa itu, demokrasi terhadap terhambat. Konser Iwan harus dilakukan dengan dengan sport jantung karena seringnya berurusan dengan pihak keamanan. Sering sehabis manggung, di sisi panggung sebuah motor sudah menunggu untuk membawanya 'menghilang'untuk menghindari aparat. Hal ini karena sering penguasa kala itu gerah karena lagu-lagu yang dibawakan menyindir penguasa kala itu. Namun Iwan Fals tetap dicintai masyarakat karena dia mampu menyuarakan kritik yang tidak bisa disuarakan oleh masyarakat, yang dituangkan lewat lagu.
Zaman sudah berubah. Jika dulu Iwan disanjung karena mampu menyuarakan suara hati masyarakat yang tidak mampu menyuarakan nurani mereka. Namun kini, itu sudah berakhir. Kita dengan bebas bisa menyuarakan apa yang ada di hati kita kepada siapa saja yang tidak kita suka atau yang suka. Baik melalui media mainstream maupun media sosial.
Saking bebasnya, kritik itu nyaris tanpa kendali karena seringkali bermuatan hal yang tidak layak untuk disampaikan karena mengandung ujaran kebencian, kabar bohong yang disampaikan seakan benar dll. Karena itu ada UU ITE antara lain untuk mengatur narasi termasuk kritik. Menyalahgunakan demokrasi dengan narasi-narasi yang tidak layak adalah pengkhianatan terhadap demokrasi itu sendiri.