Mohon tunggu...
intan rahmadewi
intan rahmadewi Mohon Tunggu... Wiraswasta - bisnis woman

seorang yang sangat menyukai fashion

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perhelatan Politik Bukanlah Ajang Perang tapi Ajang Adu Gagasan

15 Juli 2018   07:21 Diperbarui: 15 Juli 2018   08:21 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demokrasi - molsumut.com

Entah kenapa dalam setiap perhelatan politik, selalu saja ada pihak-pihak yang secara sengaja membuat suasana gaduh. Selalu saja ada pihak yang memprovokasi, demi memecah belah suara ataupun menurunkan elektabilitas salah satu pihak. Hal ini selalu berulang dan berulang. 

Masyarakat pun ada sadar, dan tidak sedikit pula yang menjadi korban provokasi. Fanatisme terhadap salah satu paslon atau tokoh pun kemudian bermunculan. Akibatnya, masyarakat tidak lagi berpikir obyektif dalam demokrasi. Padahal demokrasi mensyaratkan adanya kejujuran dan tidak adanya intiminasi. Masyarakat harus merdeka menentukan pilihannya.

Namun fakta dilapangan berbeda. Bahkan tidak sedikit dari oknum yang sengaja memunculkan sentiment SARA. Ayat-ayat suci juga dibawa-bawa untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Kalau ayat suci tersebut bisa dimaknai sesuai konteksnya, mungkin tidak ada masalah. Namun jika ditelan mentah-mentah dan mengajak masyarakat untuk melakukan jihad yang salah misalnya, itu yang mengkhawatirkan. Indonesia bukanlah negara konflik, yang mengharusnya masyarakat melakukan pihak. Indonesia juga bukanlah negara perang.

Ironisnya, ayat perang atau pesan kebencian itu justru muncul ketika perhelatan politik mulai memanas. Ada apa dengan kita? Bukankah setiap agama itu mengajarkan untuk saling menghargai dan menghormati? Mari kita lihat dasar negara kita Pancasila. Semangat untuk saling menghargai dan menghormati ada dalam setiap sila. Mari kita lihat apa itu Bhineka Tunggal Ika. Dalam perbedaan dan keberagaman, tetap ada semangat untuk saling menghargai karena kita semua sama. Mari kita lihat apa yang ada dalam gotong royong. Didalamnya juga ada semangat untuk saling menghargai dan menghormati. Lalu, kenapa dalam perhelatan politik mendadak semuanya itu hilang?

Ketika sentimen keagamaan dimunculkan, seakan obyektifitasnya menjadi hilang. Ironisnya, kelompok yang sering membawa sentimen SARA ini, justru gemar sekali mengkafirkan pihak yang berseberangan. Yang yang dianggap kafir, harus dibenci, dimusuhi, atau tindakan tidak terpuji lainnya. Bagaimana mungkin orang berbeda keyakinan dan pandangan dianggap kafir? Definisi ini tentu tidak benar. Dan  ironisnya, penjelasan yang tidak benar ini disebarluaskan di dunia maya dan dianggap kebenaran oleh sebagian orang.  

Kemarin, kita semua telah melewati pilkada serentak di 171 daerah. Meski ada beberapa kendala, secara umum perhelatan politik lima tahunan itu berjalan aman dan lancar. Namun, satu hal yang tetap masih ada adalah penyebaran ujaran kebencian, provokasi, dan ajakan untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji. Dunia maya seolah menjadi wilayah untuk saling caci dan memaki. Ayat-ayat suci yang selalu dibawa, tidak pernah diletakkan pada konteksnya. Akibatnya, kebencian tersebut terus menguat dan berpotensi memunculkan tindakan intoleran. Dan jika intoleransi terus menguat, disitulah mulai muncul bibit radikalisme dan terorisme.

Mari kita introspeksi. Perang yang sesungguhnya bukanlah perang kepada pihak yang berbeda pandangan politik. Bukan pula kepada pihak yang berbeda keyakinan. Perang yang sesungguhnya adalah kepada diri kita sendiri. Bagaimana kita bisa mengendalikan amarah dan hawa nafsu kita. Itulah perang yang sesungguhnya. Semoga ini bisa jadi renungan bersama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun