"Itu hanya gudang. Dalamnya kotor. Jangan pernah Kamu mencoba masuk seperti kemarin! Asmamu bisa kambuh kalau Kamu berani coba masuk ke sana."
Aku sadari ibu berbohong. Ibu selalu meremas tangannya setiap kali berbohong dan gelisah.
Lagipula kamar itu bukan gudang yang terlihat di pandanganku semalam. Terlebih lagi barang-barang yang sudah tidak terpakai diletakkan ibu di kamar dekat dapur.
Saat mentari bersinar di puncak peraduannya, ibu sedang berbincang dengan tante Irma melalui telepon seluler. Kala ini adalah waktu emas bagiku untuk mencuri kunci kamar itu.
Ibu dan tante Irma selalu berbincang dengan memakan waktu yang cukup lama. Diam-diam aku masuk ke kamar ibu dan mengambil kunci kamar itu, lalu aku bergegas berlari tergopoh-gopoh untuk membukanya.
Hatiku seperti tabuhan genderang perang. Keringatku bercucuran, ada kengerian dan antusias yang merasuk sukmaku.
Kubuka pintu itu perlahan dengan menahan nafasku. Â Di balik pintu kusaksikan seorang anak gadis seusiaku terbaring dengan wajah menatap tembok kamar.
Rambut hitam panjangnya terurai, kulitnya pucat, bajunya tampak kumal, selang infus tertancap di tangannya dan di meja sampingnya ada lentera menyala redup.
Semerbak bau anyir menusuk inderaku dan kamar ini terbilang cukup sederhana. Aku coba menyentuh tubuhnya dan memanggilnya lirih.
"Hai, apa kau baik-baik saja?" tanyaku dengan bergidik.
Rasa dingin menjalar ke sekujur tubuhku. Tak bersuara dan hening menyergap sukma. Aku mencoba melihat wajahnya.