Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kamar Pendusta

19 Juni 2021   11:55 Diperbarui: 19 Juni 2021   12:11 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berkas cahaya dari celah jendela kamar yang gelap (Sumber: pixabay.com)

Semalaman aku berpikir bagaimana caraku untuk menanyakan ihwal ini kepada ibu. Banyak tanya mengalir di kepalaku.

Siapa pula dia? Mengapa dia ada di sana? Mengapa ibu menyembunyikan ini dariku? Bukankah seharusnya tak ada rahasia diantara kami?

Terlebih lagi, kini kami hanya hidup berdua saja dan saling menggantungkan satu sama lain. Ya, karena ibu harus menjadi tulang punggung semenjak kepergian ayah yang entah kemana 10 tahun lalu, ketika aku berusia 6 tahun kala itu.

Memoriku bergentayangan lamban di sudut akal yang kembali terusik. Jeritan suara hatiku berteriak mengenang jerang sangkala berlalu, kala silam yang kelam.

Sudah takada lagi afeksi yang ibu pancarkan setiap detiknya, yang ada hanyalah angkara murka. Acap kali bola mata ibu yang semerah saga mengerjap penuh luka.

Mencabik-cabik asa. Terpuruk tak berdaya. Setiap senyuman ibu sekelam mata sirna hanya tampak awan kelabu.

Ibu bahkan meninggalkan ria hanya untuk meratapi lara. Tak jarang carut marut kata keluar dari bibir ibu yang kerap mengiris sukma.

Pada akhirnya aku bulatkan tekad memberanikan diri bertanya tentang ihwal ini kepada ibu saat sarapan nanti. Aku susun kata perkata di dalam benakku agar tak menimbulkan perseteruan nantinya.

"Pagi, Bu. Harum sekali aromanya. Ibu masak apa?" sapaku.

"Cepat duduk, sarapan!" ujar ibu.

"Bu, di kamar belakang sana ada apa isi di dalamnya? Kenapa aku tidak diizinkan masuk untuk melihat?" ujarku sembari mengisi piring.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun