Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Uniknya Tradisi Pemakaman Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi

22 April 2021   11:30 Diperbarui: 23 April 2021   15:40 8271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upacara pemakaman etnis Tionghoa – Foto: tionghoa.info

Menurut tradisi, anak kandung dari almarhum wajib mengenakan pakaian berkabung selama tiga tahun. Anak perempuan yang sudah menikah diizinkan memakai pakaian berkabung selama 1 tahun. Cucu dalam boleh melepas pakaian berkabung ketika sudah melewati tiga bulan.

Selama masa berkabung, mereka mengenakan pakaian berwarna putih atau hitam serta memasang Ha di lengan kiri baju.  Khusus cucu luar, boleh mengambil kesempatan membuang Ha saat sembahyang di kuburan. Dengan demikian, mereka sudah boleh memakai pakaian bebas.

Makam ditutupi dengan tumpukan alang-alang

Jenazah dikubur dalam peti mati yang terbuat dari kayu jati – foto: tangyar video Neo-Geo
Jenazah dikubur dalam peti mati yang terbuat dari kayu jati – foto: tangyar video Neo-Geo

Kuburan yang sudah rapi dan tertutupi tumpukan alang-alang - foto: dokumentasi Mardi Wu
Kuburan yang sudah rapi dan tertutupi tumpukan alang-alang - foto: dokumentasi Mardi Wu

Pada umumnya peti mati terbuat dari kayu jati. Setelah dikubur, peti lalu ditutupi dengan tumpukan alang-alang.

Bertahun-tahun kemudian, tumpukan alang-alang hampir rata dengan tanah sejalan dengan hancurnya peti. Yang tersisa hanya tulang-belulang.

Makam yang tertutup tumpukan alang-alang dibuka. Tulang-belulang yang tersisa dipungut dan dikumpulkan di guci. Tidak jelas apakah tradisi ini terjadi karena besarnya biaya untuk membuat makam yang bagus atau karena keinginan untuk membawa tulang tersebut mengikuti perpindahan keluarga ke daerah lain.

Seorang teman penulis bercerita bahwa keluarganya menunggu 23 tahun sebelum mengumpulkan tulang belulang almarhum kakeknya dan membawa guci berisi tulang-belulang tersebut ke kediaman baru mereka di Surabaya.

Teman yang lain bercerita bahwa jenazah ayahnya tetap dikubur bersama peti yang tertutup alang-alang selama belasan tahun. Tiga tahun setelah ibunya menyusul sang ayah, mereka memungut tulang-belulang ayah dan ibu.

Tulang-belulang ayah dikumpulkan di sebuah guci dan tulang-belulang ibu dikumpulkan di guci yang lain. Kedua guci tersebut lalu diletakkan bersisian di makam yang baru mereka bangun. Setiap tahun, pada saat ceng beng, mereka berziarah untuk membersihkan makam dan memberi penghormatan kepada kedua orangtua mereka.

Kompleks pemakaman di Bagansiapiapi - foto: dokumentasi Mardi Wu
Kompleks pemakaman di Bagansiapiapi - foto: dokumentasi Mardi Wu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun