"Masih milik Pak Haji Sobri, atau sudah berpindah tangan?" lanjut Karsa.
"Masih milik beliau, Mas. Putra sulungnya, Pak Doni yang mau kelola," jelas Kusni.
Setelah mendapat jawaban, Karsa pergi meninggalkan para pekerja. Ia tak habis pikir, apa yang Pakde Juman dan Haji Sobri lakukan. Padahal, sawah-sawah mereka terbilang produktif.
Karsa teringat peristiwa lima tahun lalu. Kala itu, petani desa tetangga menyesal menjual lahannya. Padahal, susah payah mengurus sertifikat bersama-sama. Malah mereka jual dengan harga rendah.
Pemicunya sederhana: anak-anaknya ingin dibelikan motor, modal pesta atau tergiur memiliki kendaraan pribadi. Akhirnya, saat ini mereka bekerja di sawah bekas miliknya hanya sebagai penggarap. Lah, sekarang malah lebih parah. Sawah dijual, dibuat bangunan.
Karsa menikmati secangkir kopi tubruk di teras rumah. Pagi yang cerah dengan bunyi burung bernyanyi, suara ibu-ibu tetangga yang bergosip di tukang sayur dan tawa anak-anak kecil bermain di halaman rumah.
Pak Lurah datang bersama seorang lelaki berpakaian kemeja hitam. Turun dari mobil hitam dan berjalan untuk menemui Karsa. Mereka membawa beberapa map di tangan masing-masing.
"Pagi, Mase. Wah, lagi ngopi nih," sapa Pak Lurah.
Karsa buru-buru membetulkan posisi duduk. Ia kaget, tak biasanya didatangi oleh pejabat pemerintahan. Karsa membersihkan bale bambu di teras dengan sapu lidi, dan mempersilakan Pak Lurah dan tamunya untuk duduk.
Terlihat obrolan serius antara Karsa, Pak Lurah dan tamunya. Dua jam lebih mereka bercengkrama. Hingga, Karsa menutup obrolan dengan permintaan maaf.
"Mohon maaf, Pak Lurah dan Pak Martin. Saya belum bisa ambil keputusan pagi ini. Jika sudah ada, tentu saya akan hadir ke balai desa," ucapnya.