Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mahar Selalu Mahal: Buah dari Salah Kaprah Memahami Belis

18 Oktober 2020   17:30 Diperbarui: 18 Oktober 2020   21:57 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan Flores(Sumber: steemit.com) 

Dengan begitu, ketika belis dikaitkan dengan penghargaan, maka tidak harus dinyatakan dalam wujud materi atau jenis barang tertentu. Apalagi misalnya, sampai diartikan dengan uang yang besarnya gila-gilaan.

Tak dimungkiri, belis adalah sesuatu yang wajib hukumnya dalam pernikahan adat masyarakat Flores. Tentu dengan catatan, tanpa menyertai mas kawin yang banyak. Begitu pula dengan acara resepsi pernikahan yang (sebaiknya) sederhana sesuai isi dompet.

Tragis rasanya bila menyelenggarakan pesta pora di tengah situasi ekonomi lemah. Saya pribadi juga tidak sepakat dengan adagium yang berbunyi "Nanggung aja sekalian. Toh, menikah hanya sekali seumur hidup".

Tentu tidak semudah itu, kawan. Anggapan ini hanya mungkin berlaku bagi kalangan elite atau sekaliber sultan. Tapi tidak demikian dengan wong cilik. Berpesta dengan segmen menunjukkan taring gensi, tidaklah lebih dari sebuah upaya mereduksi nilai luhur dan utuh dari perkawinan itu sendiri.

Kemudian yang kedua, belis tidak lebih dari sekadar instrumen dan atau alat bukti: baik itu pemberian berupa hewan, emas dan sejumlah uang. Singkatnya, sebagai simbol pengesahan sebuah proses perkawinan.

Demikian pula bila menyoal besar kecilnya mahar nikah karena dipengaruhi status sosialnya dalam masyarakat, misalnya. Ini merupakan kepincangan cara berpikir terhadap belis, tentu saja.

Hingga kini, salah kaprah dalam memahami belis sudah terbawa dalam lakon praktik. Segenap pihak, khususnya para orang tua, sebenarnya tahu bagaimana seharusnya bersikap. Tetapi sebagian dari mereka berani menipu diri dan membutakan mata terhadap hakikat belis yang sebenarnya.

Rumusan semacam ini bukan isapan jempol belaka, ihwal meskipun tak tertulis, sudah kerap diakui secara otomatis di tengah masyarakat diaspora dan diiyakan seolah-olah itu menjadi hal yang wajar.

Pendek kata, tulisan ini adalah sebuah upaya membangun dasar berpikir jernih mengenai sikap kita dalam memandang makna belis yang paling fundamental dalam perkawinan adat Flores.

Karena sejatinya, maksud daripada kehadiran belis dalam pesta pernikahan adat masyarakat Flores adalah membawa kebaikan. Kebaikan untuk kedua mempelai juga untuk keluarga besar, tentu saja.

Jangan sampai belis menjadi bumerang bagi kita, bagi setiap pasangan muda yang hendak membangun bahtera rumah tangga baru.(*)

*Penulis: G31. Editor: A1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun