Mohon tunggu...
INS Saputra
INS Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Profesional IT, praktisi, pengamat.

Profesional IT, praktisi, pengamat.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Silang Pendapat Penanganan Banjir Ibu Kota

10 Januari 2020   13:55 Diperbarui: 11 Januari 2020   06:30 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah warga mengevakuasi barang berharga yang terendam banjir di Jl. Raya Pondok Gede, Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu (1/1/2020). Luapan air Kali Baru sebabkan wilayah Kramat Jati terendam hingga sebahu orang dewasa.(KOMPAS.com/M ZAENUDDIN)

Awal tahun 2020 ibu kota ditandai dengan bencana banjir. Beberapa wilayah yang sebelumnya tidak pernah mengalami banjir, di tahun ini dihadiahi banjir.
Bermacam-macam analisis tentang penyebab dan penanggulangan banjir muncul ke permukaan.
Silang pendapat di muka umum antara menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Ph.D. dan gubernur DKI Anies Baswedan, Ph.D. tentang cara penanggulangan banjir seakan menjadi bumbu pelengkap penderitaan korban banjir.
Pak menteri mengatakan bahwa selama penyusuran kali Ciliwung ternyata sepanjang 33 km yang sudah dinormalisasi sepanjang 16 km aman dari luapan, tapi yang belum dinormalisasi tergenang.
Pak gubernur berpandangan bahwa selama air dibiarkan dari selatan masuk ke Jakarta dan tidak ada pengendalian dari selatan, maka apa pun yang dilakukan di pesisir termasuk di Jakarta tidak akan bisa mengendalikan airnya.
Masyarakat dibuat bingung, dari kedua pernyataan pejabat publik itu mana yang benar, mana yang bisa dipercaya. Yang masyarakat tahu bahwa banjir sudah terjadi dan menelan korban jiwa dan materi yang tidak sedikit jumlahnya.
Menurut penulis, kedua pandangan pejabat ini bisa saja benar dua-duanya atau salah dua-duanya.
Kenapa?
Jika dicermati, penyebab banjir di Jakarta setidaknya disebabkan oleh tiga hal, yakni:

  1. Hujan lokal yang deras dengan durasi yang cukup lama sehingga volume air di pemukiman warga dan jalan-jalan meningkat secara derastis;
  2. Meluapnya sungai-sungai di Jakarta karena kiriman air dari hulu;
  3. Kombinasi keduanya.

Tanggul-tanggul yang jebol dan pompa-pompa yang rusak sejatinya bukanlah penyebab banjir melainkan hanya dampak dari penyebab banjir yang sesungguhnya.
Karena masalah banjir ini adalah masalah yang sangat kompleks, maka sesungguhnya tak ada satu resep jitu untuk menangani banjir yang telah terjadi berpuluh-puluh tahun lamanya di Jakarta.
Sebagai pengamat, penulis berpendapat bahwa solusi yang tepat untuk penanggulangan banjir di Jakarta dan sekitarnya adalah dengan melakukan upaya terpadu, menyeluruh dan berkelanjutan antara hulu, tengah dan hilir (muara).
Upaya dan tindakan tersebut, antara lain:


Di hulu:

  • Membangun waduk atau bendungan untuk menampung dan mengendalikan air hujan yang mengalir ke Jakarta saat musim hujan dan untuk irigasi saat musim kemarau;
  • Melakukan naturalisasi (proses menjadi natural/alami) dengan penghijauan atau reboisasi secara besar-besaran serta memperbanyak ruang terbuka hijau untuk memaksimalkan serapan air dan menghambat laju air ke hilir;
  • Melakukan moratorium pembangunan vila dan aktivitas lainnya yang dapat merusak lingkungan.
    Prinsipnya, apa pun yang dilakukan di hulu harus dapat menahan atau memperlambat laju air ke hilir.

Di tengah:

  • Melakukan normalisasi sungai (mengembalikan fungsi sungai seperti semula) dengan pelebaran dan pendalaman sungai, termasuk pengerukan endapan lumpur dan sampah;
  • Membuat sodetan atau terowongan bawah tanah untuk mengatur atau membagi debit air sungai sehingga tidak tertumpu pada sungai yang debit airnya penuh;
  • Memperbaiki sistem drainase pada gorong-gorong dan saluran-saluran air sehingga air bisa lancar mengalir ke sungai-sungai.
    Prinsipnya, apa pun yang dilakukan di tengah harus dapat mengakselerasi atau mempercepat laju air ke hilir.

Di hilir (muara):

  • Membuat tanggul pengaman pantai yang bertujuan untuk mencegah terjadinya banjir rob akibat fenomena penurunan permukaan tanah;
  • Memasang pompa-pompa air untuk memompa air dari daerah yang lebih rendah dengan permukaan air laut ke laut;
  • Secara teratur dan berkesinambungan melakukan pembersihan sampah-sampah dan endapan lumpur yang terangkut sampai ke hilir (muara)
    Prinsipnya, di muara air harus dapat dengan lancar tanpa hambatan menuju laut.

Semua upaya dan tindakan di atas tidak untuk diwacanakan namun harus direalisasikan. Siapa penanggung jawabnya, berapa biayanya, kapan target selesainya, itu yang harus didiskusikan dengan duduk bersama antara pemerintah pusat, pemprov DKI, pemprov Jawa Barat, pemprov Banten dan pemkab/pemkot daerah penyangga ibu kota.
Masalah banjir tidak akan selesai dengan saling melempar tanggung jawab, saling menyalahkan, silang pendapat di depan umum. Harus ada niat yang sungguh-sungguh, serius dan fokus dari semua pemangku kepentingan (stakeholder) jika ingin menjadikan Jakarta sebagai kota yang bebas banjir.
Jika kita mau mengedepankan tindakan preventif untuk mencegah banjir, maka kita tidak akan lagi sibuk mengurusi masalah-masalah pasca banjir seperti pengungsian, kebutuhan makanan dan air bersih, kebutuhan MCK, obat-obatan, dll.
Banjir, sebagaimana bencana alam lainnya seperti tanah longsor, kebakaran hutan karena terik matahari adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Namun tidak bisa dihindarkan bukan berarti tidak ada upaya untuk mengurangi potensi dan dampak yang ditimbulkan karena sesungguhnya mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. (ins.saputra)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun