Di Bawah Bulan Malam Ini
Tiada setitik pun awan di langit." (Pramoedya Ananta Toer)
Ketertarikan saya terhadap pemikiran Pramoedya Ananta Toer bermula ketika mengikuti kuliah Teologi dan Sastra pada tahun 2006. Saat itu saya berusia 28 tahun.Â
Dalam perkuliahan tersebut, hermeneutika diajarkan sebagai alat untuk memahami karya-karya sastra, termasuk karya-karya Pramoedya, dari perspektif teologi.Â
Dari sinilah saya mulai menyelami gagasan Pramoedya tentang kebenaran sebagai sebuah arus balik yang menentang segala bentuk dominasi, penindasan dan ketidakadilan.
Pada pandangan pertama secara acak saya membuka "Arus Balik" karya Pramoedya Ananta Toer dan saya menemukan barisan kalimat ini, "Pada suatu kali orang harus mengakui kebenaran." (Arus Balik, 227).
Hari ini sebagai bentuk dari kepasrahan untuk dibawa oleh arus balik, saya coba membaca dan menulis satu tulisan untuk mengenang satu abad Sang Sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer tentang kebenaran.
Pramoedya Ananta Toer menyebut kata "kebenaran" dalam "Arus Balik" sebanyak 50 kali. Rangkaian pernyataan dan gagasan Pramoedya tentang kebenaran itu bagaikan satu arus balik yang membawa saya kepada pemahaman tentang kebenaran universal.
Bahkan saya merasakan denyut nadi kebenaran itu ketika menatap realitas kehidupan bangsa ini dengan berbagai macam kebijakan yang diambil pemerintah.
Ada protes, demonstrasi, sorak teriak karena hak hidup mereka dirampas terdengar begitu nyata saat ini. Dan saya membaca kembali "Arus Balik" di sana saya menemukan peneguhan luar biasa dari Pramoedya bahwa "Bagaimana pun kebenaran akan menang."(Arus Balik, 735).Â
Kebenaran, dalam perspektif Pramoedya Ananta Toer, adalah elemen fundamental yang terus berdenyut dalam sejarah manusia. Ia tidak bersifat statis, melainkan bergerak seperti arus yang menentang segala upaya manipulasi dan monopoli kuasa.
Dalam Arus Balik, Pramoedya menegaskan bahwa kebenaran bukan sekadar fakta, tetapi sebuah prinsip moral yang harus diperjuangkan.