Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

"Aku" Chairil Anwar dan 3 Paradigma Pendidikan bagi Anak Bangsa Indonesia

3 Agustus 2022   15:33 Diperbarui: 4 Agustus 2022   21:34 1384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Chairil Anwar. (sumber:KOMPAS.ID/SUPRIYANTO) 

Aku - Chairil Anwar dan 3 Paradigma Pendidikan bagi anak bangsa Indonesia /Dokumen pribadi oleh Ino
Aku - Chairil Anwar dan 3 Paradigma Pendidikan bagi anak bangsa Indonesia /Dokumen pribadi oleh Ino

Jika orang menikmati pendidikan, maka orang mencatat tentang kehidupan yang panjang dan lama. Warisan intelektual orang yang berpendidikan itu tidak akan pernah mati. 

Saya yakin karya sastrawan Chairil Anwar akan bertahan dan hidup lebih dari seribu tahun lagi. 

2. Puisi Aku dan janji seorang anak petani

Setiap kali saya membaca puisi Aku, saya tersentuh dengan baris pertama, "kalau sampai waktuku" 

Baris pertama itu bagi saya merupakan coretan janji dari seorang anak petani yang rindu menikmati pendidikan. Baris pertama puisi Chairil Anwar itu seperti mengiris hati saya dengan janji andaikan aku diberi kesempatan untuk menikmati pendidikan, maka aku akan sungguh-sungguh. 

Rindu menikmati pendidikan untuk seorang anak petani di tahun 1980 an rupanya masih merupakan suatu kemustahilan. Menikmati pendidikan tinggi itu hanya mungkin bagi sekelompok orang tertentu saja. 

Oleh karena itu, setiap kali saya membaca puisi Aku, saya ingat bagaimana saya berjuang memberi semangat kepada diri sendiri di saat-saat sulit pada tahun krisis waktu tahun 1980 an.

Tanpa Aku, maka saya tidak pernah menemukan roh yang memberikan gairah kepada diri sendiri untuk tekun belajar dan terus belajar. 

Apalagi kalau saya ingat baris kedua, "Ku mau tak seorang kan merayu" Saya jadi ingat rayuan maut pada masa itu adalah menjadi perantau di bawah umur. 

Tekanan ekonomi yang menyeret banyak orang ke kenyataan kemiskinan tak berdaya pada waktu itu, menjadikan banyak anak-anak usia sekolah kehilangan visi pendidikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun