Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimana Anak-anak Papua Mendulang Emas?

19 Maret 2021   00:39 Diperbarui: 19 Maret 2021   02:30 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:uconk.com

Aku cinta Papua. Setiap kali saya mendengar lagunya Edo Kondologit "Aku Papua" dengan suara khasnya tentang Papua, hati saya terharu, bahkan kadang-kadang ingin segera ke Papua. Sebuah lagu dengan cuplikan video alam dan keindahan Papua yang sangat indah. 

Jadinya sih suka juga bilang "Aku Papua" meskipun aku Flores. Ya, aku Flores yang cinta Papua, cinta Indonesia. Itu semua sih Gara-gara lagu dan cuplikan video Edo. Rasa cinta anak Papua tersalurkan melalui seni suara yang dipadukan dengan misteri alam yang tidak selesai ditafsir dan dibaca manusia. 

Lagu itu betul menggetarkan jiwa saya waktu itu, sehingga terbangun niat yang kuat agar suatu saat ke Papua. Kerinduan yang mendalam itu kadang pupus karena cerita dan tulisan lain yang pernah saya baca dengan judul "Merana di Tengah Kelimpahan." 

Rasa haru bercampur sedih, mengapa paradoks kehidupan terjadi seperti itu? Ya, entah lah, saya belum menyaksikan ya, jadi pada waktu itu, saya belum bisa berkata banyak tentang paradoks kehidupan antara alam, manusia dan kelimpahan. 

Setelah dua kali mendapat kesempatan untuk terbang dan berlayar di Papua, khususnya Sorong, Kaimana Papua Barat, saya mulai mengerti mengapa lagu kebanggaan "Aku Papua" itu menjadi seperti syair harapan dan musik kerinduan masyarakat Papua untuk tidak hanya mendiami tanah yang kaya, tetapi menikmati Firdaus di bumi, di Indonesia. 

Aku cinta Papua. Pada perjalanan pertama saya seperti dituntun masuk ke Firdaus kecil keindahan laut yang penuh misteri dinding-dinding batu alam di sana. Cinta saya jadi semakin membawa ketika saya bisa menyimpan gambar-gambar dinding batu alam yang berulang-ulang menang melawan terpaan gelombang Arafura. 

Nah, saya pernah singgah pada suatu perkampungan kecil yang terlihat sedikit maju, meskipun belum bisa dikatakan sudah makmur. Di pinggiran gunung dan hutan belantara sagu letak kampung itu. Ada satu kapela persaudaraan ada di sana. 

Namanya kapela persaudaraan, baru dengar kan? Pada kapela yang sama bisa di pakai oleh pendeta protestan dan juga boleh dipakai oleh pastor Katolik. Unik juga sih bagaimana iklim persaudaraan mereka. Tentu hal unik itu menginspirasi. 

Keramahan dan kerelaan masyarakat di sana bisa di rasakan. Mereka sangat mudah membantu sesama ya khususnya orang baru yang datang mengunjungi mereka di sana. 

Siang itu, tahun 2012 saya tiba di sebuah kampung dengan dahaga rindu yang menggebu untuk mengalami babak pengalaman baru "Mendulang Emas di tanah Papua." Saya begitu menggebu hingga makan siang pun, terasa tidak terlalu berarti kalau dibandingkan dengan suatu pengalaman baru. 

Mendulang, kata ini menyeret saya untuk ingat dulan di mana di Flores dipakai untuk menaruh gelas kopi yang akan dihidangkan untuk tamu. Namun, arti seperti itu hanya kata Benda sih. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun