Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perjumpaan dengan Kata Yunani

7 Februari 2021   03:37 Diperbarui: 7 Februari 2021   07:34 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini saya ingin menulis lembaran Diaryku dengan cerita tentang perjumpaanku dengan kata bahasa Yunani. Pertama mendengar nama Yunani saya langsung ingat nama-nama seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, Epikur, Stoa.  Nama-nama ini adalah filsuf yang paling berpengaruh sampai dengan sekarang ini. 

Sekurang-kurangnya Socrates, Plato dan Aristoteles menduduki posisi yang paling banyak dikenal. Nama mereka dikenal hampir oleh semua mahasiswa di berbagai universitas di seluruh dunia. Pertanyaannya mengapa mereka begitu berpengaruh hingga saat ini? Orang bisa menjawab dengan mudah karena misalnya dari Socrates orang mengenal permulaan filsafat Yunani klasik yakni dengan dimulainya diskusi Socrates dengan kaum Sofis dan gagasan-gagasan mereka tentang manusia. 

Metode dan pendekatan Socrates juga sederhana, ia berbicara dengan orang-orang Athena di jalan-jalan lalu menunda percakapan selanjutnya tanpa batas waktu. Socrates dengan sengaja membiarkan orang-orang yang pernah berdiskusi dengannya bertanya atau mempertanyakan sesuatu. Ia membuka ruang baru bagi orang-orang Athena untuk berpikir kritis.

Sementara itu, nama seperti Plato dikenal sebagai keluarga bangsawan dan dianggap sebagai murid Socrates. Plato bertanya tentang "Eksistensi atau keberadaan" yang sebenarnya. Keberadaan itulah yang mengajarkan bahwa kebaikan adalah tujuan dan asal mula segala sesuatu. Menurut Plato manusia harus sampai pada gagasan tentang kebaikan dan membuatnya jelas melalui alegori tentang gua. Bahkan Plato membagi jiwa manusia menjadi kebijaksanaan, keberanian, dan kesederhanaan dan menetapkan kebajikan untuk setiap jiwa. 

Menurutnya, jika dalam diri manusia itu ada kebijaksanaan, keberanian dan kesederhanaan, maka pasti orang akan memiliki kebajikan. Menariknya bahwa dalam doktrin kenegaraan, Plato mempresentasikan negara ideal berdasarkan  tiga hal ini: keadilan, kebajikan dan kebijaksanaan. Selanjutnya, Plato membagi negara menjadi tiga unsur: penguasa, penjaga dan petani. Idealnya adalah akan ada keselarasan, jika di dalam negara itu ada keselarasan antara penguasa, penjaga dan petani.

Sementara itu filsuf Aristoteles yang sebelumnya adalah murid Plato, dalam perjalanan waktu akhirnya menjauhkan diri dari ajaran Plato. Aristoteles terkenal dengan kesibukannya di Athena dalam mengurus Sekolah Peripatetik. Fokus gagasan Aristoteles adalah berurusan dengan fenomena alam, dan keberadaan manusia. 

Bagi Aristoteles segala sesuatu itu  dapat dieksplorasi dan dijelaskan. Oleh karena itu, dia diterima sebagai sarjana universal yang meletakkan dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan alam. Menariknya bahwa Aristoteles menyebut akal sebagai kebaikan tertinggi yang melaluinya manusia mencapai kebahagiaan. Di atas segalanya, Aristoteles menekankan jalan tengah antara dua ekstrem: keberanian, kesederhanaan dan kemurahan hati.

 Di dunia manakah orang tidak berbicara tentang manusia atau tentang kebaikan, tentang keberadaannya atau tentang negara, atau tentang diskusi dan bertanya, tentang bersikap kritis, tentang penguasa, penjaga atau oposisi dan petani? Atau di mana dan kapan saatnya ketika orang tidak mendengar lagi cerita tentang keberanian, kesederhanaan dan kemurahan hati? Rasanya tidak ada. Dengan kata lain gagasan-gagasan ketiga filsuf ini begitu penting tentunya. Meskipun demikian pentingnya, tetapi pernahkah orang membayangkan apa jadinya jika orang tidak pernah menulis dan membaca apa yang mereka pikirkan? Jika kita tidak pernah membaca tentang karya-karya mereka, maka pasti kita tidak pernah mengenal dan tahu tentang diri dan gagasan-gagasan mereka. 

Orang mungkin tidak tahu mengapa mereka menulis karya-karya mereka dan atas dasar apa mereka menulis? Sebagian besar orang akan lebih mudah hidup dalam logika berpikir seperti orang Yunani tanpa tahu sejarahnya seperti apa. Atau mengapa orang harus membaca? Pertanyaan inilah yang bagi saya merupakan kado terindah berada dan belajar di Eropa, sekurang-kurangnya pernah belajar bahasa Yunani dan mengenal kosa kata mereka. Perjumpaan dengan kosa kata Yunani, mula-mula hanya menyisakan kebingungan dan kebuntuan dan bertanya: Mengapa bahasa itu begitu rumit? Setelah sedikit menikmati manis dan bijaknya bahasa itu, saya akhirnya bertanya: Mengapa di negeriku orang tidak belajar bahasa Yunani? 

Sebuah bahasa yang membuat orang tahu tentang kedalaman kata dan tujuannya dalam hidup ini. Hari ini saya ingin menyebutkan dua kata yang begitu memotivasi saya untuk membaca dan ingin tahu tentang segala sesuatu. Dua kata ini adalah (baca: anaginosko) dan (ginosko).  Terlihat kedua kata ini mirip cuma berbeda pada kata ginosko yang pertama ada "ana". Ana adalah sebuah preposisi. Preposisi "ana" ditambah kata dasar "ginosko" membentuk suatu pengertian yang berarti "membaca." Sedangkan ginosko itu sendiri tanpa preposisi "ana" berarti mengenal dan tahu.  

Orang tidak boleh lupa bahwa proposisi selalu ditempatkan di depan kata benda dan silbe "pre" itu sendiri berarti sudah lebih dahulu atau yang di depan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa untuk mengenal dan tahu, orang harus lebih dahulu membaca. Dengan kata lain, ketika orang tidak pernah membaca, maka orang itu sebenarnya orang yang tidak mau tahu. Orang tidak mau tahu itu sama dengan orang yang hilang kepeduliannya untuk semua hal. 

Saya menjadi sadar betapa berartinya aktivitas membaca itu sendiri. Sebuah aktivitas pre dari segalanya untuk sampai kepada pengenalan dan pengetahuan. Tidak heran kalau di Jerman misalnya ada begitu banyak filsuf dan teolog, bahkan orang tua renta dengan kursi roda pergi ke mana saja membawa buku dan membacanya. 

Budaya membaca suatu bangsa bisa menjadi ukuran kecerdasan bangsa. Saya pikir logika seperti itu berlaku untuk semua hal bahkan dalam konteks hidup penganut agama. Orang tidak mungkin mengenal dengan baik ajaran Kitab Suci agamanya, kalau orang itu tidak pernah membaca Kitab Sucinya. Tentu berbeda dengan orang Yahudi, mereka pergi ke mana-mana bukan handphone yang dibawa serta, melainkan Torah. Bahkan menunggu di terminal bus saja, ibu-ibu Yahudi menunggu sambil membaca Torah. 

Di Jerman jauh lebih unik lagi. Orang bisa membaca buku di mana saja dan kapan saja. Bahkan di pojok, di sudut, lorong dan jalan-jalan disediakan lemari yang berisikan buku-buku bacaan apa saja. Orang bisa saja mengambil buku-buku itu untuk dibaca bahkan untuk menjadi milik pribadi. Saya begitu terkejut di rumahku memiliki perpustakaan dengan jumlah buku lebih dari 28.000 judul buku. Uniknya adalah mereka mendesain ruang perpustakaan mereka di lantai dasar. Terkesan seakan-akan memberikan gambaran tentang suatu posisi keberadaan bahwa kita di rumah ini berdiri di atas dasar buku-buku. Sebuah gambaran dan juga gagasan yang bersanding rapat dengan logika orang-orang Yunani.

Kapan iklim dan logika seperti itu hidup di negeriku Indonesia? 

Ino, 7.02.2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun