Mohon tunggu...
Rinnelya Agustien
Rinnelya Agustien Mohon Tunggu... Perawat - Pengelola TBM Pena dan Buku

seseorang yang ingin menjadi manfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Wabah dan Kebodohan Manusia

26 Maret 2020   11:08 Diperbarui: 26 Maret 2020   12:40 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini bukan tentang Ngiko, kucingku yang hobinya rebahan dan makan. Ini kisah temannya Ngiko yang hidupnya tidak seberuntung Ngiko. Di tengah pandemic COVID 19, semua orang menunjukkan bentuk simpatinya dengan unjuk suara dan keterampilan. Salah satunya sebuah video yang beredar dengan pesan yang ingin disampaikan agar manusia tidak lagi memakan kelelawar.  Dalam video tersebut menceritakan suara hati kelelawar yang selalu menjadi makanan manusia. 

Tentu saja itu bukan dari sumbernya langsung (kelelawar). Itu hanyalah asumsi. Manusia selalu menduga-duga dari apa yang terjadi lalu diramu dengan pandangan pribadinya maka lahirlah hipotesa.   Ada yang hipotesa  Ho yang bermakna positif, tapi ada juga yang menegasi  perilaku manusia lainnya. 

Video "suara hati kelelawar" mengingatkanku pada sebuah kisah pilu yang diceritakan oleh Mbah, seorang wanita tua yang mengabdikan masa tuanya untuk mengurus kucing kucing pasar.   Sore itu seperti biasa rutinitasku adalah ke Ruang Baca Pena dan Buku di Pasar Klandasan. Aku dan seorang teman mengelola ruang baca tersebut sejak tahun 2016. 

Sosok Mbah sudah tidak asing lagi bagiku. Terkadang sering kali kardus yang berisi kucing kucing kecil diletakkan di samping ruang baca, numpang neduh ya mbak katanya. Mbah bukanlah pedagang jadi dia tidak punya kios. 

Meski demikian dia lah yang paling lama menghabiskan waktu di pasar. Dia menyapu pasar di malam hari ketika pasar sudah tutup, memilah sampah botol plastik dan kardus lalu dijual dengan harga yang untuk membeli 1 gorengan saja masih kurang dan memberi makan kucing kucing di pasar. 

Koridor Pena dan Buku acapkali dijadikan tempat peristirahatannya saat siang. Merebahkan badannya yang sudah ringkih di atas bangku kayu panjang. Di bawah bangku kayu beberapa kucing peliharaannya ikut memejamkan mata. Itu bukan kucingnya. itu kucing yang dibuang orang lalu diberi makan olehnya. Kucing yang adaptif istilahku, karena mau dikasih makan apa saja. Bila biasanya kucing makan ikan, kalau kucing Mbah bisa makan nasi dan mi atau apa saja asal bukan sayur.   

Saat merapikan buku, aku mendengar  suara lirih anak kucing yang bersahut sahutan. Pelan tapi cukup nyaring terdengar di telingaku. Kuhampiri suara tersebut, ternyata dari dalam kardus yang ada di koridor Pena dan Buku. Kulongokkan kepalaku ke dalam kardus itu, di dalamnya ada 3 ekor anak kucing  yang sepertinya baru saja dilahirkan induknya. Nyaris tidak ada bulunya. Ukurannya mungkin 2 jari orang dewasa. 

Kecil sekali. Ada 3, dua masih bergerak gerak. Satu sudah tidak bergerak, banyak semut yang mengelilinginya. "Yang itu satu sudah mati" kata Mbah menghampiriku. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun ucapku. "Lho kemana induknya Mbah ?" tanyaku. "Itu" jawab Mbah sambil menunjuk kucing oren putih yang sedang santai  di depan kios orang. Kucing itu tampak asyik menjilati tubuhnya. " Lho kok gak disusuin sama induknya" tanyaku. 

Pertanyaan itu sebenarnya hanya bisa dijawab oleh induknya, tapi karena Mbah yang memelihara kucing oren putih itu, jadi dia bisa menjawab pertanyaanku "Habis ngelahirin dia langsung menjauh dari anaknya Mba. Bahkan plasenta anaknya saja itu masih pada utuh. Dia tidak mau sama sekali menyentuhnya. Dia itu sakit" jawaban Mbah yang membuat dahiku mengernyit. Aku menggaruk garuk kepalaku, berusaha memahami penjelasan Mbah. "Sakit ??" ulangku. 

"iya Mba mamaknya itu sakit" jawab Mbah, mamak yang dimaksud adalah si kucing oren putih yang tega menelantarkan anak anaknya. "Mamaknya itu gak mau nyusuin anak anaknya Mba, menyentuh anak nya saja tidak mau" kata Mbah. Kok ini seperti sindrom baby blues pada manusia ya, pikirku. Apakah bisa terjadi pada kucing ? rasa penasaranku terjawab.  Setelah kutelusuri di Google ternyata memang ada sindrom baby blues pada kucing. Ya Tuhan aku baru tau....

Aku tidak tahu apa faktor yang membuat kucing jadi baby blues, Mbah pun tidak tahu. Mbah hanya bisa menjelaskan kebiasaan kucing oren putih itu sebelum dan saat hamil. "kucing itu sudah sakit sebelum hamil, badannya kurus gitu gak bisa gede" jelas Mbah. "soalnya dia sering makan kecampur rambut  di tong sampah itu" menunjuk kepada satu tong sampah besar yang letaknya di depan pasar. "Hah ?? maksudnya gimana Mbah" tanyaku meminta penjelasan ke Mbah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun