Mohon tunggu...
Rinnelya Agustien
Rinnelya Agustien Mohon Tunggu... Perawat - Pengelola TBM Pena dan Buku

seseorang yang ingin menjadi manfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenangan bersama Oma Tien

15 Januari 2018   11:05 Diperbarui: 14 Februari 2018   13:05 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebenarnya sudah lama ingin menulis tentang beliau,namun selalu saja  tertunda. Beberapa hari lalu saya diingatkan kembali kepadanya, ketika  salah seorang teman melihat label nama saya di buku yang akan  dipinjamnya. "Agustien berarti lahirnya bulan September ya mba" katanya  bercanda, teman saya lainnya menimpali "bukan itu artinya anaknya ibu  Tien". Saya sontak kaget mendengar perkataan teman saya. Sore itu saya  diingatkan kembali dengan janji saya, menulis tentang beliau, sosok yang  sangat saya sayang dan kagumi. 

Saya tidak tahu apakah saat  bapak saya memberi nama belakang saya Agustien karena teringat beliau, ataukah karena saya lahir di bulan Agustus. Dan sepertinya saya tidak  perlu juga mencari tahu. Karena itu tidak penting lagi bukan. Saya  menyukai nama belakang saya Agustien, setidaknya kalau saya amnesia saya  diingatkan oleh nama belakang saya bahwa saya lahir di bulan agustus  dan cucu dari Oma Tien.

Tien adalah nama panggilan Oma saya.  Perempuan yang sangat saya sayang dan menjadi panutan hidup saya. Apa  yang saya lakukan sekarang, saya rasa karena saya terlalu  mengidolakannya. Oma bukanlah lulusan Universitas, dan memang bukan itu yang saya kagumi dari beliau. Oma juga tidak menjabat apapun, bahkan menjadi Ibu RT pun tidak. Oma juga tidak bekerja menjadi wanita karir. Beliau ibu rumah tangga yang kesibukannya dimulai dari ayam berkokok di pagi buta hingga ayam berkokok kembali di kala senja.

Setiap libur sekolah saya selalu menghabiskan  liburan saya di rumah Oma Tien di Banyuwangi, kota di ujung timur pulau  Jawa yang sekarang menjadi hits dengan wisatanya.  Saya paling  suka bermain di pantai, main masak2an dengan peralatan masak2an dari  tanah liat yang dijual beberapa meter dari rumah Oma, aneka daun dan  bunga yang tumbuh di halaman belakang yang super luas pura puranya  menjadi sayur dan lauk.  

Tepat di ujung halaman belakang ada satu pintu  dari yang dipalang menggunakan balok kayu besar. Saya selalu  berimajinasi itu pintu kemana saja-nya Doraemon, atau itu pintu masuk ke  dunia lain. Sekali waktu saya pernah diajak oleh asisten rumah  tangganya Oma membuka pintu "kemana saja", ternyata dibalik pintu itu  ada puluhan anak tangga yang turun ke bawah menuju ke sebuah sungai.  Sungainya arusnya kencang mungkin karena itu Oma melarang saya membuka  pintu itu. Liburan di Banyuwangi mengembangkan daya imajinasi saya  dengan baik dan indah. Dan saya rasa seharusnya itu yang dialami oleh  anak anak, sesuatu yang indah dan nyata bisa dilihat didengar dan  dirasakan. 

Oma Tien paling jago masak. Cumi hitam favorit saya.  Semenjak beliau meninggal saya tidak pernah lagi makan cumi hitam.  Biarlah saya mengenang yang original saja. Setiap siang Oma selalu  menyiapkan nasi bungkus yang cukup banyak, Oma bilang itu untuk pak Tani  yang telah menggarap sawahnya. Saya masih mengingat dengan baik ketika  tangan beliau sendiri yang menyendokkan nasi lalu menaruhnya ke daun  pisang. 

Mengambil sejumput lalapan sayur, tempe dan sambal lalu  membungkusnya. Sesederhana itu ingatan saya kepadanya,  tetapi saya tak  pernah lupa. Saat itu, saya berkata dalam hati "aku ingin seperti oma".   Ingatan sederhana itu terpatri dalam memori saya. Banyak kejadian  penting yang saya alami dalam hidup, tetapi ingatan sederhana itu tetap  melekat. 

Saya masih usia SD saat itu dan melihat ada seseorang  yang dengan tulus menyiapkan makan siang untuk orang lain rutin setiap  hari itu adalah hal yang menyentuh sekali. Mungkin kalau dilihat dari  kacamata orang dewasa, akan berbeda karena memang sudah menjadi tanggung  jawab pemilik sawah memberi makan siang untuk petani yang menggarap  sawahnya. Tetapi bersyukurnya saya melihatnya saat saya SD, ketika  perkembangan kognitif saya hanya terpusat baik dan buruk.

Pada  akhirnya saya sangat bersyukur sekali bisa liburan sekolah tiap tahun di  Banyuwangi. Masa kecil saya penuh dengan keindahan alam dan pesan  kebaikan yang tersirat dari Oma Tien. 

Oma meninggal ketika saya  SMA kelas satu, dan beliau "hadir" kembali di akad nikah saya. Saat akad  nikah, saya menangis sesenggukan, kalau tidak ingat sudah dandan menor  mungkin saya sudah nangis kencang sekali. Bagaimana tidak ? saya seperti  melihat Oma Tien ada di depan saya.  Mungkin beliau pun ingin menjadi  saksi pernikahan cucunya. 

Apa yang saya jalani sekarang, mulai  dari menjadi relawan pendidikan, hingga membuka Ruang Baca di pasar, dan  pemikiran2 yang berkembang di otak saya, ternyata berakar dari dari  pengalaman masa kecil saya di rumah Oma Tien. Kita saat ini adalah buah  dari pengalaman kita di masa kecil. Saya yakin itu..

 -Alfatihah untuk Oma Tien-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun