Mohon tunggu...
Inmas Indratama
Inmas Indratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Psikologi - Universitas Muhammadiyah Surakarta

Bimbingan dan Konseling SMA Muhammadiyah 1 Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Lingkaran Setan Pelecehan Seksual Anak Usia Dini

28 September 2022   14:25 Diperbarui: 28 September 2022   14:39 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Akhir - akhir ini kasus kekerasan seksual pada anak usia dini kembali muncul di tengah masyarakat. Hal ini seperti teror bagi setiap orang tua yang memiliki anak dibawah umur agar kebebasan putra putrinya tidak terenggut oleh para pelaku kekerasan seksual ini. Kekerasan seksual menjadi momok yang menakutkan bagi anak usia dini, karena anak usia dini masih memerlukan kebebasan untuk bermain dan anak usia dini merupakan cikal bakal penerus bangsa yang masih terus tumbuh dan berkembang secara optimal baik dalam perkembangan moral, fisik/motorik, kognitif, bahasa, maupun sosial emosional. Ironisnya kekerasan seksual justru dilakukan oleh orang-orang terdekat dari korban seperti seperti keluarga, ayah kandung, ayah tiri, paman, tetangga, guru maupun teman dengan berbagai motif tindakan kekerasan seksual.

Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak selama 2022 hingga 23 September 2022 pukul 18.30 WIB, terdapat 17.587 kasus kekerasan dengan jumlah korban perempuan sebanyak 16.133 orang dan korban laki-laki sebanyak 2.820 orang. Ironisnya berbagai kekerasan terjadi pada anak, baik di ruang publik sekolah bahkan di rumah yang seharusnya menjadi ruang yang sangat aman untuk mereka. Kasus tersebut akan semakin meroket bila tidak ada langkah preventif baik dari dalam lingkungan keluarga maupun pihak yang terkait.

Kekerasan seksual pada anak tidak bisa diprediksi kapan akan terjadi dan dimana tempatnya, semua berpeluang menjadi korban kekerasan seksual pada anak dan semua juga berpeluang menjadi pelaku kekerasan seksual pada anak. Anak yang sudah mengalami kekerasan seksual bisa mengakibatkan traumatik akan masa lalunya dimana kejadian tersebut akan terus di ingat hingga dia dewasa nantinya. Traumatik pada anak akibat kekerasan seksual cenderung anak mengalami kecemasan yang berlebih, mudah marah dan lebih sensitif terhadap lingkungan sekitar. Dampak psikologis lainnya termasuk penurunan kepercayaan diri dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bersosialisasi dengan sesama dan belajar di sekolah. Korban cenderung menghindari orang-orang yang diangap baru dan lebih anti sosial, ditambah lagi dengan stigma masyarakat yang beredar terhadap korban kekerasan. Untuk itu orangtua harus membantu anak yang menjadi korban untuk mendampingi dan menciptakan lingkungan baru bagi korban, agar efek traumatis tidakberlarut dalam kehidupan korban.

Pengalaman masa kanak dapat mempengaruhi perilaku manusia pada masa dewasa melalui pola ketidaksadaran, dimana kejadian yang tidak menyenangkan seperti dilecehkan secara seksual oleh seorang dewasa pada masa kecil menyebabkan adanya persepsi buruk yang timbul dalam ingatan anak. Dukungan dari masyarakat dapat membangun mental korban, dimana korban dapat masuk dalam kelompok masyarakat dan diterima dalam lingkungan tanpa ada stigma negatif. Baik keluarga dan lingkungan masyarakat harus secara aktif memberikan dukungan kepada korban, agar efek traumatis bisa diatasi oleh korban. Proses pendampingan terhadap korban harus dilakukan secara continue dan terus menerus untuk mengatasi trauma dan mencegah anak menjadi pelaku ketika dewasa kelak.

Secara Psikologis, anak yang menjadi korban kekerasan seksual dirinya akan merekam seluruh informasi pengalaman dan kejadian yang ada di dalam memori mereka. Menurut Walgito (2004) kemampuan ingatan manusia terbentuk menjadi 3 bagian yaitu : a) Learning, menerima atau belajar tentang informasi, b) Retention/menyimpan, c) Retrival atau menimbulkan kembali ingatan yang sudah disimpan. Dengan pola tersebut tidak menutup kemungkinan korban kekerasan seksual bisa menjadi pelaku kekerasan seksual di kemudian hari. Hal tersebut diperkuat juga dengan berbagai teori dalam psikologi, salah satunya adalah teori behavioral yang memandang bahwa perilaku manusia adalah hasil dari kumpulan respon dari stimulus yang selama ini dipelajari oleh manusia.

Kekerasan seksual pada anak menjadi lingkaran setan yang secara berangsur-angsur akan terus terjadi. Untuk memutus mata rantai lingkaran setan ini harus diputus mata rantainya, agar pola kekerasan seksual tidak terbentuk dikemudian hari. Korban harus benar-benar didampingi dan mendapatkan terapi agar masa dewasanya tidak mengalami trauma. Sedangkan pelaku kekerasan perlu mendapatkan perlakuan khusus. Selain mendapatkan hukum pidana, pelaku kekerasan juga harus mendapatkan treatment agar setelah dia bebas dari hukuman tidak melakukan tindak kekerasan lagi. Dari segi pendekatan humanistik, pelaku kekerasan seksual merupakan pribadi yang unik dan masyarakat tidak disarankan memberikan labeling terhadap pelaku kekerasan. Bisa jadi pelaku kekerasan melakukan hal tersebut karena trauma masa lalu yang dia hadapi pada masa kanak-kanak. Intervensi atau campur tangan perlu dilakukan dalam menangani probelematika kekerasan seksual, terlebih pada pelaku. Bentuk intervensi dapat berupa layanan konseling atau terapi jiwa yang dilakukan oleh ahli.

Bentuk intervensi berdasarkan pada Camillery (2008) yang dapat disarankan untuk pelaku pada kasus kekerasan seksual pada anak antara lain dengan:

Terapi kognitif behavioral dan relapse prevention

Terapi kognitif behavioral adalah terapi yang mengajarkan tentang cara untuk mengenal suatu keadaan sebagaimana keadaan yang sesungguhnya dengan mengubah cara berpikir sehingga bisa melihat sesuatu secara lebih seimbang dan terhindar dari dampak negatif dari pemikiran negatif (Tirtojiwo, 2012).

Conditioning

Conditioning ini didasarkan pada teori behavioral yang mana memandang perilaku pedhofial merupakan hasil dari respon adaptif dari stimuls yang tidak menyenangkan yang kemudian membentuk perilaku pedhofilia itu sendiri. Conditioning tipe ini cukup memberikan rasa takut pada pelaku pedhofilia, namun hal yang negatif yang mungkin timbul adalah pelaku akan mengalami phobia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun