Mohon tunggu...
La Iwang (Semesta Wadagiang)
La Iwang (Semesta Wadagiang) Mohon Tunggu... Editor - Apa jadinya andai fikiran orang-orang dulu itu tak di bukukan?

Aku hanya belajar untuk bisa terus belajar. Belajar dari mereka, belajar dari kalian semua........

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ahok, Berpancasilalah Sedikit!!!

1 Maret 2015   05:37 Diperbarui: 28 Desember 2016   14:51 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cita-citaku adalah menjadi pengusaha besar. Saya lalu tertatih-tatih merintis usaha dari nol. Singkat cerita, setelah jatuh bangun berkali-kali dan sebelum sempat merasakan puncak, akhirnya saya bangkrut. Dalam kondisi semaput begitu, beruntung seorang kawan yang telah sukses sebagai pengusaha memberiku kepercayaan mengelola salah satu usahanya. Maka hari ini, menjadilah saya seorang anak buah. Alhamdulillah, itu semua adalah jalan-jalan rezki dari Allah yang wajib disyukuri.

Baik, cerita diatas hanyalah prolog kecil bagaimana hari ini saya juga berpotensi menjadi seorang koruptor. Minimal korupsi atas kepercayaan yang diberikan oleh kawan saya tadi itu.

Sebuah jabatan, sebuah amanah yang dititipkan oleh orang lain terlebih amanah itu adalah titipan rakyat banyak, memang sungguh berat pertanggungjawabannya. Bagaimana tidak? Seorang pejabat publik, dalam arti petugas negara entah itu jabatan karir atau politik semisal BG, Ahok, Jokowi, Setya Novanto dan sebagainya dan seterusnya, mereka ini digaji dari tetes keringat rakyat. Digaji dari pajak tukang ojek, pedagang kaki lima bahkan sebentar lagi akan menyusul para pengrajin batu-batu cincin. Betapa sadis dan kurang ajarnya memang jika kemudian mereka melakukan korupsi.

Mungkin masih bisa ditoleransi andaikata yang mereka korupsi itu adalah hasil dari Tembaga Pura, atau Blok Cepu yang dikuasai korporasi asing Freeport dan Exxon Mobile itu. Tapi susah juga kalau nyali presidennya nyali abdi dalem.

Kenapa sih mesti takut sama korporasi itu? Toh kalau kita kalah secara undang-undang karena terlanjur dibodoh-bodohi lewat 76 undang-undang yang draftnya dibuat oleh pihak asing dalam upaya meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia semisal UU tentang migas, kelistrikan, perbankan dan keuangan, pertanian, serta sumber daya air (Eva Kusuma Sundari-Anggota DPR PDIP, 20 Agustus 2010), kan masih bisa kita benturkan lewat dukungan publik, Rakyat Indonesia. Dengan besaran 185 Juta rakyat itu sungguh-sungguh kekuatan luar biasa.

Kalau seorang tersangka koruptor saja berani mempraperadilankan KPK atau seorang Ahok berani membenturkan hak angket DPRD Jakarta kepada publik, kenapa seorang Presiden Jokowi mesti tak berani? Toh rakyat kita adalah rakyat yang mudah disentuh emosionalnya. Toh rakyat kita adalah rakyat yang tidak konsisten. Buktinya, mereka sendiri yang memilih DPR sebagai wakilnya dan membuat Undang-undang, tetapi begitu DPR telah bekerja membuat undang-undang persyaratan kapolri dan hak angket misalnya, tahu-tahu rakyat juga yang kemudian menggugatnya.

Jadi kalau presiden mau mengambil alih kembali SDA-SDA kita dari cengkeraman asing, wacanakan saja issu kriminalisasi sumber daya alam, sampaikan saja data-data pada rakyat secara blak-blakan bahwa korporasi-korporasi asing itu telah mencuri jutaan trilyun hasil alam kita. Bila perlu mencak-mencak saja seperti Ahok, bilang pada rakyat bahwa saya siap berhenti sebagai presiden yang penting ladang emas kita tidak dikuasai freeport. Percayalah rakyat akan ramai-ramai mendukungmu. Detik itu juga akan bermunculan petisi dukungan di media-media sosial. Kalau freeport juga melakukan praperadilan, biar saja. Kita punya banyak pengacara-pengacara hebat dan pakar-pakar hukum, kerahkan saja pasukan JLC nya Bang Karni, selesai.

Maksud saya begini, setidaknya ada dua terobosan ke-budaya-an baru yang mencuat belakangan ini, pertama, tersangka koruptor mem-praperadilan KPK, kedua, bongkar-bongkar borok birokrasi ala Ahok.

Menurut hemat saya, jika dua terobosan ini berlanjut lalu menjadi budaya politik-hukum baru di negeri ini, maka lambat atau cepat DPR/DPRD sebagai perwakilan rakyat akan kehilangan fungsi. Untuk apa juga rakyat memiliki perwakilan kalau toh keputusan-keputusan para wakil mereka itu kembali dibantainya sendiri? Kenapa tidak sekalian serahkan saja kewenangan penuh pada eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan?

Maka jika DPR/DPRD ditiadakan, pertanyaannya apa? Akan bekerja apa anggota DPR RI yang 560 orang, DPD RI 132 orang, DPRD Provinsi 2.114 orang dan DPRD Kab/Kota yang 14.410 orang itu? Nah dibawah ini hanya sekedar illustrasi.

Umpama DPR/DPRD ditiadakan, dan agar mereka semua tidak menjadi pengangguran, maka bisa dilakukan reorganisasi. Caranya? Kita verifikasi lagi mereka berdasarkan track recordnya masing-masing selama ini. Kita gunakan asaz pembuktian terbalik. Jika memang ada yang terbukti bersih dari korupsi berarti tepat jika bergabung dengan KPK. Bukankah korupsi ini sangat massif dan terstruktur? Kenapa tidak jika KPK juga dibentuk hingga kabupaten/kota. Hal ini jauh lebih efektif untuk pemantauan koruptor-koruptor tingkat daerah.

Kalau KPK juga memiliki struktur sebagaimana Polri, apa tidak lebih bagus? Ingat, anggaran Dana Alokasi Desa yang nantinya akan mencapai milyaran per desa itu akan sarat juga dengan potensi korupsi. Dan yang pasti, jika KPK juga sudah buat terstruktur seperti polri yang sampai ditingkat desa itu, apalagi dilengkapi juga dengan persenjataan yang memadai, jelas Polri tidak berani lagi melakukan kriminalisasi.

Kita tahu, anggota DPR/DPRD ini berangkat dari latar belakang sosial yang berbeda-beda. Mereka duduk disana itu karena menang suara saja, entah bagaimana caranya. Negara kita ini sedang kacau di multi sektor. Nah, bagi mereka yang berlatarbelakang preman misalnya, perbantukan saja pada kepolisian untuk mengatasi gang motor. Bukankah polisi saat ini tidak mampu mengatasi itu sehingga hampir setiap saat ada saja masyarakat yang mati kena golok atau anak panah?

Bagi mereka yang latar belakangnya dulu adalah pecandu narkoba misalnya, tempatkanlah di BNN, dan sebagainya dan sebagainya. Tentu saja diseleksi berdasarkan kecerdasan dan tingkat skillnya masing-masing.

Adapun bagi mereka yang memang kecerdasan dan skillnya dibawah rata-rata dan selama ini hanya datang duduk, diam dan menunggu gaji akhir bulan apa boleh buat dititip saja sementara di dinas kebersihan, di Depag atau SKPD-SKPD apalah yang kerjanya juga kira-kira tidak jauh beda. Datang, duduk, diam dan menunggu akhir bulan.

Soal para legislator diatas, saya sama sekali tidak bermaksud merendahkan. Saya tahu bahwa diantara mereka cukup banyak yang berkualitas wakil presiden, menteri, gubernur dan bupati. Saya justru sedang mentertawakan diri saya sebagai bagian dari rakyat yang memilih mereka tetapi kembali kemudian memaki-makinya karena persoalan BG dan Ahok. Jajaran eksekutif tidaklah lebih baik dari mereka yang legislative. Lebih-lebih, rakyat juga tidaklah lebih baik dari para penyelenggara pemerintahan itu. Seluruh ketidak baikan ini hanyalah konsekwensi logis dari sistim demokrasi yang  apa-apa mesti mengikut pada hasil siapa yang lebih banyak suaranya. Begitu, bukan?

Wal-akhir, mari kita berjika-jika saja. Jika menggunakan paradigma berfikir JIL (Jaringan Islam Liberal),  sebenarnya saya adalah seorang muslim yang berfaham tidak modern. Bagi saya, masyarakat muslim mestinya dipimpin oleh seorang muslim. Tapi karena Ahok sudah jadi gubernur DKI dan itu atas dukungan sebagian kaum muslim sendiri ya sudahlah.  Dan jujur saja, kali ini saya salut dengan gebrakan Ahok atas birokrasi Jakarta. Saya juga bisa memahami ketersinggungan anggota DPRD atas cara Ahok membuka aib mereka yang cenderung memang tidak beretika pancasila itu. Tetapi sebuah budaya sopan santun ala pancasila pun jika itu justru menghambat sebuah kemaslahatan, kenapa mesti dipertahankan?

Jika dengan cara saling mempermalukan bisa membawa perubahan bagi karakter kemalingan kita, bukankah itu lebih baik. Bila perlu potong saja tangannya para koruptor itu. Hukum potong tangan itu kan tujuannya mempermalukan juga sehingga sang maling benar-benar kapok. Efek jera dan pencegahan. Kita tidak usah malu-malu atau takut-takutlah hanya karena potong tangan itu cara Islam.

Jika kita bersedia mengadopsi cara-cara kapitalisme ala Amerika-Eropa Barat atau sosialisme ala Rusia-China, dan itu semua terbukti justru membuat bangsa kita hancur, kenapa sih kita terlalu tidak mau mengadopsi cara-cara Islam (Timur Tengah)?

Jika kita begini-begini saja seterusnya, apalagi dengan keterpurukan terburuk rupiah atas dolar sejak krisis 1998 seperti hari ini, jangan-jangan nantinya memang akan banyak rakyat yang tertarik bergabung kepada ISIS. Semoga tidak, dan semoga Allah segera memberi bangsa ini jalan keluar. Ahok! mulutmu jaga baik-baik, ya!

Wallahu a’lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun