Mohon tunggu...
Hana Fitriani
Hana Fitriani Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Sistem Informasi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

3 Sesat Pikir Tentang Entrepreneurship

10 April 2015   17:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:17 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Saya memulai bisnis dengan seorang teman sejak 2,5 tahun yang lalu. Selama perjalanan singkat ini, saya merasakan adanya kesulitan dan  kesempatan  Kami memulai bisnis dengan cukup mudah dan sederhana. Awalnya kami mengambil barang dari penjual lain yang kemudian kami jual lagi. Lama kelamaan, kami bisa mendapatkan produsen sendiri dan memperluas penjualan lewat berbagai channel.

Saya merasakan sendiri sederhananya memulai berbisnis, meski pernah tertatih-tatih dalam mempertahankannya. Namun saya heran, beberapa teman saya merasa tidak mampu untuk berbisnis walaupun mereka berpotensi. Di luar ke-tidak-tertarik-an mereka, saya merasa adanya gap yang cukup jauh dengan dunia entrepreneurship. Walaupun saya masih (sangat) newbie dan belum tergolong sustain, saya pikir gap ini punya peran besar dengan minat entrepreneurship di Indonesia.

Saya mencoba mempelajari, di mana letak kesalahannya. Ketika saya beberapa kali mengikuti seminar atau kuliah tentang entrepreneurship, saya menemukan ada beberapa gap antara materi yang diberikan dengan apa yang saya rasakan langsung.

Menjadi entrepreneur harus menjadi orang yang…

Dalam sesi kuliah pertama tentang entrepreneurship di fakultas saya, para mahasiswa disajikan dengan slide yang berisi syarat menjadi entrepreneur. Di sana dikatakan bahwa entrepreneur adalah orang yang percaya diri, kreatif, pintar bernegosiasi, berani mengambil risiko, mampu berkomunikasi dengan baik, dll. Setelah dosen memberikan materi kuliah, ada seorang mahasiswa yang bertanya, “Pak, di slide tadi dikatakan bahwa menjadi entrepreneur adalah orang yang pintar berkomunikasi. Apakah orang yang introvert tidak bisa menjadi entrepreneur?”

Tentu saja, introvert atau extrovert tidak bisa jadi alasan untuk menolak entrepreneurship. Toh, Mark Zuckerberg yang introvert pun bisa membuat Facebook. Namun, dampak dari materi entrepreneurship ini adalah, munculnya gagasan bahwa sebelum menjadi entrepreneur kita harus memenuhi sejumlah kriteria kepribadian terlebih dahulu. Hal ini bisa jadi malah menimbulkan kesan ekslusif untuk menjadi entrepreneur. Benar bahwa seorang entrepreneur adalah orang yang begini dan begitu. Sayangnya, kriteria ini bisa dijadikan alasan, “Wah saya tidak pintar ngomong, tidak bakat jadi entrepreneur.”

Pada kenyataannya, ketika menjadi entrepreneur, mau tidak mau kita jadi belajar mengambil risiko, bernegosiasi, mengatur waktu, dll. Kondisi bisnis-lah yang mengharuskan dan memaksa entrepreneur menjadi pribadi seperti itu.

Saya tidak passion di bidang bisnis ini

Saya punya beberapa teman yang memulai bisnis, ada yang membuat kafe, berjualan baju, membuat event organizer, sampai membuat produk teknologi. Sayangnya, beberapa dari mereka ada yang sudah berhenti menjalankan bisnisnya walaupun baru berjalan tidak sampai setahun. Biasanya, alasan mereka berhenti adalah adanya kerugian di awal, tim yang kurang solid, dan sulitnya menaikkan penjualan. Namun, ada juga yang melapisi alasan tersebut dengan kedok, bisnis ini bukan passion saya.

Sebenarnya, passion adalah suatu hal yang positif , yang mendorong seseorang menuju kemajuan. Banyak seminar-seminar motivation boost menghubungkan antara entrepreneurship dengan passion. Dari sana terbentuk mindset bahwa berbisnis (atau melakukan hal lain) harus dengan passion. Artinya, ketika kita melakukan sesuatu maka harus mempunyai motivasi internal yang jelas dan sungguh-sungguh melakukannya.

Namun sayangnya, dalam beberapa kesempatan, passion malah dijadikan tameng untuk berhenti dan menyerah ketika menemui kesulitan, termasuk dalam bisnis. Makin lama, mindset passion malah jadi penyimpangan. Ketika penjualan masih sangat sedikit dan motivasi dalam diri mulai goyah, mudah bagi kita berkesimpulan ‘bisnis ini bukan passion saya.’ Seharusnya sebelum berkesimpulan begitu, ditanyakan dahulu: saya berhenti karena memang jalan saya tidak di sini atau saya kurang berusaha?

Entrepreneur yang bermanfaat adalah socio-entrepreneur

Beberapa tahun belakangan, di Indonesia cukup booming dengan istilah socio-entrepreneurship. Menurut Ashoka (2012), social entrepreneur adalah individu yang mempunyai solusi inovatif untuk menyelesaikan masalah masyarakat. Contohnya adalah Garment Bank yang didirikan oleh Muhammad Yunus atau Amartha Microfinance milik Garuda Putra. Salah satu bentuk konkrit social entrepreneur bisa dilihat di artikel tentang Amartha Microfinance (https://www.selasar.com/ekonomi/bernafas-untuk-indonesia-sejahtera).

Kemudian, apa yang salah kaprah dengan gagasan social entrepreneur ini?

Ada sebuah kisah nyata tentang dialog antar dua tokoh terkenal. Tokoh pertama adalah seorang akademisi tenar yang baru membuat usaha pengolahan tempe di suatu desa tertinggal. Tokoh lainnya adalah pengusaha besar di Indonesia. Si akademisi merasa bahwa apa yang dia lakukan lebih bermakna dan bermanfaat dibandingkan bisnis si pengusaha, karena dia bisa memajukan suatu desa. Namun, si pengusaha dengan santai menjawab, “Dengan bisnis besar saya ini, saya bisa bersedekah lebih banyak dari Anda.”

Yang menjadi salah kaprah adalah bisnis yang bisa bermanfaat adalah social entrepreneurship saja; social entrepreneurship orientasinya adalah kemajuan sosial, sedangkan entrepreneurship biasa orientasinya adalah uang. Padahal, bisnis pada hakikatnya sudah bersifat sosial dengan membangun lapangan kerja, menghidupi banyak manusia, memberikan kesempatan untuk berbagi dan mandiri.  Tanpa mempunyai atribut ‘social’, entrepreneurship pasti akan memberikan manfaat untuk masyarakat.

Itulah 3 sesat pikir mengenai entrepreneurship dari kacamata seorang newbie. Saya rasa, adanya 3 sesat pikir tersebut malah membuat kesan bahwa bisnis itu eksklusif dan sulit dilakukan. Sayangnya, salah kaprah ini biasanya saya temui di suatu seminar atau kuliah yang kurang baik dalam penyampaian materi. Bisa jadi, 3 sesat pikir ini mempunyai andil dalam rendahnya tingkat wirausaha di Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun