Mohon tunggu...
inggitmaya
inggitmaya Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa gabut yang suka nulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Stoa: Perang Melawan Overthinking Di Kalangan Mahasiswa

15 Maret 2025   18:33 Diperbarui: 15 Maret 2025   18:37 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam kehidupan modern di kalangan mahasiswa yang dipenuhi dengan tekanan akademis dan sosial, overthinking merupakan salah satu realitas yang tak terelakkan bahkan menjadi tantangan utama yang dihadapi oleh mahasiswa. Relasi antara banyaknya tuntutan, pemikul harapan keluarga, serta pacuan pencapaian orang sekitar yang semakin menekan secara bersamaan mereduksi makna subjek dan ekspresi diri yang otentik. Kegiatan mahasiswa dalam mengalami kanalisasi pada suatu sistem yang bersifat teknis-repetitif semata "harus bisa ini", "harus tercapai itu", "harus lulus tepat waktu" dan "seandainya  begini", "seandainya begitu". Menurut Horkheimer, kondisi ini telah terlanjur menjadi suatu sistem yang tertutup dan total. Tertutup karena mau atau tidak mau manusia harus mengikuti aturan main sistem yang ada mengingat tidak diizinkannya usaha-usaha dalam membuka dan menyoalkannya. Proses berpikir yang berlebihan ini seringkali mengakibatkan kecemasan, kebingungan, dan bahkan penurunan produktivitas. Akibatnya, secara perlahan tanah primordial manusia bernama 'akal' mengalami pengikisan sehingga kehilangan hakikat fungsinya, dan alhasil mahasiswa hanya menjadi pseudo dari manusia itu sendiri. Di sinilah filsafat Stoa, dengan prinsip-prinsipnya yang menekankan ketenangan batin dan pengendalian diri, menawarkan perspektif yang berharga. Filsafat Stoa mengajarkan bahwa kita tidak dapat mengendalikan segala sesuatu yang terjadi di luar diri kita, tetapi kita memiliki kekuatan untuk mengatur reaksi dan pemikiran kita terhadap situasi tersebut. 

Melalui pendekatan yang pragmatis, para filsuf Stoa seperti Epictetus dan Marcus Aurelius mengajak kita untuk fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan, serta untuk menerima kenyataan dengan lapang dada. Dalam konteks kehidupan mahasiswa, penerapan prinsip-prinsip Stoa dapat menjadi senjata ampuh dalam menghadapi overthinking. Dengan mengembangkan sikap mindfulness dan rasa syukur, mahasiswa dapat belajar untuk tidak terjebak dalam siklus pemikiran negatif yang banal hal tersebut justru mengganggu kesehatan mental mahasiswa. Stoa sendiri adalah sebuah aliran filsafat yang muncul di Yunani kuno, mengajarkan pentingnya kebijaksanaan, pengendalian diri, dan penerimaan. Sehingga ini cocok bagi mahasiswa, karena ajaran Stoa dapat menjadi alat yang efektif untuk mengatasi overthinking, yang seringkali mengganggu konsentrasi dan kesehatan mental mereka yang kerap terjebak dalam pikiran yang berlebihan, atau overthinking, yang dapat membelenggu produktivitas dan menimbulkan kecemasan. Mereka sering kali merenungkan keputusan, tugas, dan ekspektasi, yang dapat mengakibatkan stres.

Filsafat Stoa menekankan pentingnya fokus pada apa yang dapat kita kontrol dan menerima apa yang tidak dapat kita kontrol. Dengan menginternalisasi prinsip ini, mahasiswa dapat mengurangi beban mental akibat pikiran yang tidak perlu hal ini selaras dengan prinsip utama Stoa kuno yaitu keyakinan bahwa kita tidak bereaksi terhadap peristiwa. Hal yang penting adalah penilaian kita tentang mereka yang bergantung kepada diri kita sendiri. Selanjutnya stoa mengajarkan bahwa kecemasan berasal dari Skeptisisme (ketidakpastian). Mahasiswa dapat belajar untuk menghadapi ketidakpastian dengan cara yang lebih tenang, mengurangi overthinking yang sering muncul saat menghadapi situasi baru. Ajaran lain dalam stoa adalah menekankan pentingnya pengendalian emosi sebagai kunci untuk mencapai kebahagiaan dan ketenangan batin. Para filsuf Stoik, seperti Zeno dari Citium dan Seneca, berpendapat bahwa emosi yang tidak terkendali dapat mengganggu rasionalitas dan menghalangi seseorang dari hidup sesuai dengan kebajikan. Dalam pandangan Stoa, kebahagiaan sejati berasal dari penerimaan terhadap keadaan yang tidak dapat diubah dan dari kemampuan untuk membedakan antara hal-hal yang berada dalam kendali kita dan yang tidak. Dengan berlatih untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif, seperti kemarahan, kesedihan, atau kecemasan, individu dapat mencapai keadaan apatheia, yaitu kebebasan dari emosi yang merusak. Melalui latihan mental dan refleksi, ajaran Stoa mendorong kita untuk mengembangkan sikap yang lebih tenang dan bijaksana, sehingga kita dapat menghadapi tantangan hidup dengan ketenangan dan integritas. Dengan demikian, pengendalian emosi dalam ajaran Stoa bukan hanya tentang menekan perasaan, tetapi tentang memahami dan mengelola reaksi kita terhadap dunia luar, sehingga kita bisa hidup dengan lebih harmonis dan bermakna. Mahasiswa dapat memanfaatkan teknik ini untuk tidak membiarkan emosi negatif, seperti ketakutan dan kecemasan, mempengaruhi keputusan dan tindakan mereka. Lebih dari itu stoa juga mengajarkan tentang penerimaan terhadap kenyataan. Mahasiswa yang belajar untuk menerima situasi yang tidak ideal tanpa memperdebatkannya dalam pikiran mereka akan lebih mampu bergerak maju dan mengurangi overthinking.

Selanjutnya meditasi merupakan praktik yang sering dianjurkan dalam Stoa. Dengan meditasi, mahasiswa dapat melatih pikiran mereka untuk fokus pada saat ini, mengurangi kecenderungan untuk terus-menerus berpikir berlebihan. Stoa mendorong refleksi diri yang sehat. Dalam pandangan Stoik, refleksi diri memungkinkan individu untuk mengevaluasi pikiran, perasaan, dan tindakan mereka, serta memahami apa yang dapat mereka kontrol dan apa yang tidak. Dengan merenungkan pengalaman sehari-hari dan respon terhadap berbagai situasi, seseorang dapat mengembangkan ketahanan mental dan emosi, serta menghindari gangguan yang disebabkan oleh hal-hal eksternal. Stoik percaya bahwa dengan menyadari diri sendiri dan mengadopsi sikap yang rasional, kita dapat hidup selaras dengan alam dan mencapai eudaimonia, atau kebahagiaan sejati. Mahasiswa dapat melakukan evaluasi diri secara berkala untuk mengidentifikasi pola pikir negatif dan menggantinya dengan pemikiran yang lebih konstruktif. 

Membangun resiliensi melalui ajaran Stoa. Melalui prinsip-prinsip seperti penerimaan terhadap hal-hal di luar kendali kita dan fokus pada tindakan yang dapat kita kendalikan, ajaran ini mengajarkan kita untuk mengembangkan ketenangan batin dan kebijaksanaan dalam menjalani hidup. Dengan menginternalisasi nilai-nilai ini, kita dapat membangun ketahanan mental yang memungkinkan kita untuk mengatasi tantangan hidup, mengurangi stres, dan mencapai kebahagiaan yang lebih mendalam. Resiliensi, dalam konteks Stoa, bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang tumbuh dan berkembang meskipun di tengah kesulitan. memberikan mahasiswa alat yang efektif untuk menghadapi tantangan hidup. Dengan memahami bahwa kesulitan adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman manusia, mereka dapat belajar untuk tidak terjebak dalam pikiran negatif yang sering kali muncul akibat tekanan akademis atau kehidupan sehari-hari. 

Ajaran Stoa juga mendorong mahasiswa untuk fokus pada tindakan nyata, membantu mereka untuk bertindak berdasarkan nilai-nilai yang diyakini, alih-alih terjebak dalam pemikiran berlebihan. Dengan mengatur harapan secara realistis, mereka dapat menghindari kekecewaan yang tidak perlu, sementara menghindari perbandingan sosial membantu mereka menerima diri sendiri dan perjalanan pribadi masing-masing. Kesadaran akan keterbatasan diri dan penerapan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan semakin memperkuat ketahanan mental. Selain itu, praktik journaling dan pencarian makna dalam hidup memberikan ruang bagi mahasiswa untuk memproses emosi dan menemukan tujuan, sedangkan menghadapi kegagalan sebagai peluang untuk belajar membantu mereka tidak terpuruk dalam kesalahan. Akhirnya, dengan mempraktikkan rasa syukur, mahasiswa dapat mengalihkan fokus dari pikiran negatif, yang secara keseluruhan mengarah pada pola pikir yang lebih sehat dan produktif. Dengan menerapkan prinsip-prinsip Stoa, mereka tidak hanya meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga lebih siap untuk mencapai tujuan akademis dan pribadi dengan lebih baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun