Mohon tunggu...
Ahmad Setiawan
Ahmad Setiawan Mohon Tunggu... Editor - merawat keluarga merawat bangsa

kepala keluarga dan pekerja media

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tetangga Ada, Tetangga Tiada (1)

16 November 2013   20:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:05 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ini kisah pribadi yang mungkin kita semua mengalaminya. Bila aku menceritakannya di sini bukan berarti aku ingin menggunjingkan para tetanggaku sendiri. Aku hanya ingin berbagi. Terutama bagi mereka, pasangan muda, yang memiliki kondisi tak jauh berbeda dengan kami dahulu: pasangan baru yang mencoba hidup mandiri dan terpisah dari orang tua.

Seminggu setelah menikah, kami memutuskan untuk hengkang dari rumah orang tua. Sejak itu hingga saat ini kami telah mengalami lima kali pindah rumah. Dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lainnya. Hingga akhirnya berakhir di istana kami sendiri. Istana yang masih dalam proses kepemilikan karena dibeli secara kredit. Sepanjang rentang itu, beragam warna dan jenis tetangga menjadi pelengkap kehidupan kami sehari-hari. Ada tetangga yang baik, bahkan menganggap kami seperti saudara. Namun, ada pula yang tak bersahabat dan menganggap kami seperti musuh. Tanpa kami pernah tahu apa sebenarnya kesalahan kami.

Para orang bijak di zaman dahulu berpepatah tetangga adalah saudara terdekat.

Bila ada ungkapan teman sejati untuk menggambarkan teman sesungguhnya di kala senang maupun susah, mengapa kita tidak mengenal ungkapan tetangga sejati? Apakah karena pengalaman orang-orang yang pernah hidup sebelum kita, menemukan kenyataan bahwa memang tidak pernah ada tetangga yang mau menemani tetangganya, baik di saat senang maupun susah (neighbour indeed, neighbour in need)? Tetangga yang mau peduli dan berbagi di saat kapanpun dengan penghuni di rumah sebelah mereka. Entah itu terhadap tetangganya yang lebih kaya maupun yang miskin. Terhadap tetangganya yang lebih muda maupun yang sudah tua. Adakah dari tetangga-tetangga kita yang seperti itu?

Orang bijak sering berpetuah, bukan soal seberapa besarnya dan berat masalah yang membebanimu, tetapi bagaimana caramu menyikapi masalah itu. Begitulah. Seiring waktu kami menyadari, apapun yang mereka (tetangga) lakukan dan bagaimanapun sikap dan persepsi mereka terhadap kami, itu bukan masalah besar. Yang paling penting adalah justru seperti apa penyikapan kita terhadap hal itu. Bagaimana cara kami memandang mereka.

Kami tidak ingin cara pandang dan sikap mereka terhadap kami memengaruhi kami. Setelah semua yang diperlihatkan oleh para tetangga itu, kami malah melakukan sebaliknya. Sebagaimana seorang filsuf besar berfatwa: bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tapi keberadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka. Itu membuat aku dan istri sering berkomunikasi dan berdiskusi. Bukan hanya melulu untuk menanggulangi masalah yang menyangkut hidup bertetangga, namun juga mengantisipasi persoalan-persoalan hidup lainnya.

Sampai kemudian timbul pemikiran bersama di antara kami: tetangga masa kini mungkin tak bisa dibilang sebagai saudara terdekat lagi. Kini, tetangga seperti antara ada dan tiada. Dibilang ada tetapi tak peduli dan tak pernah menyapa. Dianggap tiada tetapi kerap usil dan nyinyir. Tetapi itulah potret kehidupan yang terpampang pada saat ini. Padahal, agama mengajarkan sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama.

Lewat tulisan ini, kami berharap kisah-kisah yang kami sajikan mengenai tetangga-tetangga kami dapat menginspirasi Anda semua. Semoga

Selamat mengikuti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun