Mohon tunggu...
Ahmad Setiawan
Ahmad Setiawan Mohon Tunggu... Editor - merawat keluarga merawat bangsa

kepala keluarga dan pekerja media

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Anak Kami Kelinci Percobaan Menteri Jokowi

17 Juni 2019   19:38 Diperbarui: 17 Juni 2019   19:46 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Penerapan sistem zonasi pada PPDB 2019 yang gebyah uyah tanpa kajian lengkap dan mendalam hanya akan dimaknai sebagai eksperimen ketimbang kebijakan. Bakal senasib dengan Kurtilas?

Sudah seminggu ini Caca anak kedua kami yang baru saja lulus SMP resah. Keceriaannya juga menghilang. Bahkan, saat saya menulis artikel ini, badan Caca sedikit demam. Hari ini puasa syawal Caca di hari kelima terpaksa dibatalkan karena ibunya khawatir demamnya semakin tinggi. Kondisi Caca yang seperti itu berbeda 180 derajat saat ia menerima hasil ujian nasional SMP beberapa waktu lalu. 

Dengan menggenggam nilai UN rata-rata 9 dan selembar piagam penghargaan karena berhasil menjadi juara ketiga dalam Festival Lomba Seni Siswa Nasional, Caca yakin ia bisa masuk SMA negeri pilihannya. Tetapi keyakinan itu kini hilang seiring realita yang harus ia terima, sistem zonasi membuat keinginannya masuk SMA negeri pilihan padam perlahan.

Bagaimana tidak, jarak antara SMA negeri yang diincar Caca dengan rumah kami 11,7 kilometer. Menimbang hal itu, kami meminta Caca realistis agar mau mengalihkan pilihannya ke SMA yang paling dekat dengan rumah. Tetapi, nampaknya masuk SMA negeri terdekat pun tidak dijamin aman. Karena SMA negeri terdekat dengan rumah kami berjarak 4,7 kilometer. 

SMA terdekat kedua berjarak 5,2 kilometer. Pada Senin (17/6), pukul 7 pagi, kami, saya dan istri, ingin membesarkan hati Caca dengan mendatangi SMA pilihannya. Kami berharap semoga masih ada harapan atau setidaknya bisa bertemu dengan pihak sekolah untuk bertanya apakah nilai UN dan prestasi yang diraih Caca bisa dijadikan pertimbangan.  

Namun, harapan tinggallah harapan. Saat mendatangi SMA pilihan Caca, pemandangan di luar pagar sekolah sudah seperti antrean mustahik meminta zakat. Karena bersikap realistis kami mengalihkan niat dan mendatangi sekolah SMA negeri dekat rumah. Caca mengangguk setuju saat kami katakan kepadanya agar lebih baik mendaftar ke SMA dekat rumah. Karena bila melihat dari kondisi antrean yang ada sulit baginya untuk diterima di SMA pilihannya. 

Namun, di SMA kedua yang kami datangi ini, jangankan untuk mendaftar. Bahkan untuk parkir kendaraan pun kami tidak mendapatkan tempat karena SMA kedua ini terletak di dalam jalan sempit dan permukiman padat. Tidak hanya itu, Dinas Pendidikan Kota Tangerang ternyata tidak meliburkan SMA negeri sehingga ruang parkir yang ada di dalam halaman dan luar sekolah penuh oleh motor dan mobil.

Melihat kondisi itu, saya segera mengarahkan kendaraan ke SMA terdekat kedua yang letaknya di pinggir jalan. Di sini antrean sudah mencair. Para orangtua dan calon siswa sudah terlihat duduk di dalam halaman sekolah. Semula kami seperti menemukan harapan. Namun, satpam yang kami temui untuk mengambil nomor antrean memusnahkan harapan itu. Ia menyarankan kami untuk datang besok hari pada pukul 6 pagi untuk mengantre pengambilan nomor antrean. 

Karena pendaftaran pada hari ini sudah ditutup setelah jumlah antrean mencapai 600 pendaftar. Padahal, jumlah kursi yang tersedia di SMA negeri tersebut hanya 324 kursi. Wajah Caca yang semula tegang berubah menjadi pucat saat mendengarkan penjelasan satpam tadi. Aku yang sejak subuh mencoba tetap optimis berubah marah saat menilai sistem zonasi telah merampas impian dan semangat anak terkecil kami.

Masuk SMA negeri terbaik di Kota Tangerang, bagi Caca dan mungkin juga remaja sepertinya, sejatinya bukan untuk gengsi. Masuk SMA negeri terbaik seperti sudah mendapatkan setengah jaminan bagi Caca dan siswa-siswi yang giat belajar agar bisa masuk perguruan tinggi negeri. Jauh sebelum sistem zonasi diterbitkan, Caca sudah mempersiapkan diri untuk berkompetisi agar bisa mendapatkan nilai ujian nasional SMP tertinggi. 

Ia juga sudah mengatur rute perjalanan hidupnya, agar selepas SMP ia bisa tetap berprestasi di bidang akademik sehingga bisa lulus ke universitas negeri terbaik yang diincarnya. Namun, Caca kini harus menyimpan mimpinya karena jangankan masuk SMA negeri terbaik, bahkan masuk SMA negeri terdekat dari rumah pun, sistem zonasi tidak menjaminnya.

Menumpuk apel segar dan apel busuk dalam satu keranjang

Saat meninggalkan SMA kedua dan ketiga menuju pulang, Caca memberitahu kami bila ia melihat teman-teman yang pernah satu SD dan SMP dengannya sedang antre mendaftar. Ia menceritakan hal tersebut dengan nada sedih, karena ia mengenal kelakuan teman-temannya itu sebagai siswa malas belajar. Aku dapat mengerti kesedihannya. 

Salah satu alasan Caca memilih SMA negeri favoritnya adalah karena ia ingin meninggalkan pergaulan dengan teman-temannya yang malas belajar itu walaupun jarak yang harus ditempuhnya lumayan jauh. Jadi, bila ia nanti masuk SMA negeri dekat dengan rumah kami, teman-temannya tentu tidak akan jauh berbeda dengan temannya semasa SD dan SMP. 

Padahal, ia menginginkan iklim berkompetisi agar bisa memacu diri. Kondisi yang semakin menguatkan pendapat saya, bila sistem zonasi ini seperti mengumpulkan apel segar dan apel busuk dalam satu keranjang. Tak peduli berapa nilai UN-mu dan seperti apa kelakuanmu, bila jarak rumah dengan sekolahmu dianggap dekat, maka kamu bisa menikmati sekolah negeri. 

Terbaik ataupun bukan. Memang Menteri Muhadjir pernah menyatakan dengan sistem zonasi ini, di sekolah manapun anak didik tetap akan cerdas. "Justru harapannya dia (siswa cerdas) bisa mempengaruhi siswa di sekitarnya yang kurang cerdas menjadi cerdas. Ini butuh proses," kata Muhadjir (30/5). Ia juga tidak ingin ada kastanisasi sekolah, ada sekolah favorit ada sekolah buangan.

Tentu pendapat Muhadjir ini benar adanya. Tetapi, sayangnya dia menyerahkan proses tersebut kepada realita di lapangan pendidikan yang sudah sangat teratur dan sistemik dalam kesemrawutan sedemikian lama. Terutama dalam hal penerimaan peserta didik baru (PPDB). Seandainya, Muhadjir mau mengkondisikan sebuah proses yang bisa membuat stigma sekolah favorit hilang, tentu akan lebih baik. 

Salah satu contohnya adalah, apakah ia telah membuat kebijakan yang menginstruksikan agar perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia mau menerima siswa-siswi dari seluruh SMA negeri tanpa melihat akreditasi dan predikat favorit atau bukan dalam SNMPTN? Atau apakah ia telah melakukan rotasi terhadap tenaga pengajar di seluruh sekolah negeri sehingga terjadi pemerataan keahlian dan keterampilan guru? 

Sudahkah ada perbaikan fasilitas dari sekolah yang ia katakan sebagai sekolah buangan agar fasilitasnya bisa setara dengan sekolah favorit? Bila belum, maka tidak usah heran bila apel busuk dan apel segar yang bertumpuk dalam satu keranjang hanya akan menghasilkan satu keranjang apel busuk di kemudian hari. Karena sejatinya, tanpa pengkondisian yang terukur, apel segar tidak akan bisa membuat apel busuk menjadi kembali segar.

Menteri yang tidak belajar dari Kurtilas

Sistem zonasi yang diterapkan oleh Pemerintah Kota Tangerang berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk tahun ajaran 2019/2020 PPDB dilaksanakan melalui tiga jalur, yakni zonasi (kuota minimal 90 persen), prestasi (kuota maksimal 5 persen), dan perpindahan orangtua peserta didik (kuota maksimal 5 persen).

Mendikbud Muhadjir Effendy berdalih sistem zonasi dibuat untuk pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Ia menyatakan bahwa pola pikir orangtua mengenai sekolah favorit harus mulai dihilangkan. "Ke depan tidak ada lagi sekolah favorit atau bukan favorit. Hal inilah yang menciptakan 'sistem kasta'. Nantinya semua sekolah akan memiliki kualitas yang sama," kata Muhadjir (1/5/2019).

Niat Mendikbud, untuk menyamaratakan kualitas lembaga pendidikan di Indonesia tentu adalah niat yang baik. Sayangnya, niat saja tidak cukup untuk dijadikan modal dalam menerbitkan kebijakan yang tepat dan efektif. Butuh kajian dan ujian yang mendalam agar kebijakan, apalagi menyangkut dunia pendidikan, bisa diterima dan diterapkan tanpa menimbulkan efek samping. Sayangnya, hal tersebut tidak dilakukan oleh Kemendikbud.

Dalam imbauannya, Inspektur Jenderal Kemendikbud Republik Indonesia Muchlis R. Luddin menyatakan kepada setiap daerah untuk menerapkan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis zonasi dengan segera. "Dilaksanakan saja dulu Permendikbud No.51/2018-nya. Nantikan akan ada pengalaman. Kalau ternyata ada kesulitan ini dan itu, bisa jadi masukan dan bahan evaluasi kami," katanya kepada Tirto.id (28/5/2019).

Jelas sudah, sistem zonasi dibuat tidak melalui proses pergulatan pemikiran dan diskusi panjang sebagaimana layaknya kebijakan diterbitkan. Tidak hanya itu, kebijakan sistem zonasi juga prematur dikeluarkan oleh menteri yang sesaat lagi tidak akan menjabat. Ini berisiko terhadap kesinambungan kebijakan yang mungkin saja akan dievaluasi oleh Mendikbud penerus Muhadjir Effendy.

Padahal, Kemendikbud seharusnya belajar dari penerapan kurikukum tiga belas (K 13) atau Kurtilas yang sedianya untuk menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pada tahun ajaran 2013/2014, tepatnya sekitar pertengahan tahun 2013, Mendikbud saat itu, M Nuh mengeluarkan kebijakan K 13. 

Dengan anggaran yang tidak sedikit, M Nuh berharap K 13 bisa bertahan selama 15 tahun. Namun, alih-alih awet dan penerapannya disempurnakan. Pada Desember 2014, Mendikbud Anies Baswedan menghentikan penerapan Kurtilas dan kembali menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

Jadi, jangan salahkan bila kami menganggap penerapan sistem zonasi sebagai eksperimen yang dipaksakan kepada anak kami. Sialnya, salah satu kelinci percobaanmya, salah satunya adalah anak kami. Caca beserta cita-cita dan impiannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun