Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Realitas Sosial Terkait Stigma dan Penyebaran HIV yang Luput di Iklan AIDS

7 November 2015   11:07 Diperbarui: 7 November 2015   11:07 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Dengan estimasi 668.489 kasus HIV/AIDS di Indonesia (Kemenkes, 2015) kasus yang terdeteksi sampai bulan Juni 2015 baru 26 persen yaitu 177.463 HIV 67.028 AIDS, ternyata program penanggulangan pun bias gender dan mengabaikan realitas sosial.

Iklan layanan masyarakat (ILM) di beberapa stasiun televisi nasional tentang HIV/AIDS, lebih tepat tentang tes HIV bagi ibu rumah tangga yang hamil, membuktikan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan bias gender dan mengabaikan realitas sosial terkait dengan mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.

Dituduh Menularkan

Anjuran tes HIV kepada ibu hamil tanpa melibatkan suami merupakan salah satu bentuk diskriminasi karena mengabaikan peranan suami dalam penularan HIV kepada ibu hamil, dalam hal ini istri. Terlepas dari kemungkinan ada ibu hamil yang tertular HIV melalui jarum suntik pada penyalahgunaan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) atau perselingkunan, tes HIV yang hanya ‘dipaksakan’ kepada ibu hamil (baca: istri) justru menguatkan dugaan buruk terhadap ibu hamil (Lihat Gambar 1).

Hal itu terjadi karena status HIV suami tidak diketahui karena tidak mengikuti tes HIV ketika istrinya menjalani tes HIV. Kondisi itu akan bermuara pada stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dengan kondisi suami tidak tes HIV.

Di sebuah rumah singgah di Jakarta, banyak istri yang ditinggal mati suami tidak mau tes HIV karena takut dituduh mertua sebagai orang yang menularkan HIV kepada suaminya. Padahal, dengan akal sehat saja tentulah yang duluan mati yang menularkan. Tapi, fakta menunjukkan banyak mertua yang menuding bahkan menuduh istri yang menularkan HIV ke suami, sebagian besar suami itu tertular melalui jarum suntik pada penyalahgunaan narkoba.

Hal itu tentulah berdampak buruk terhadap perempuan-perempuan tsb. karena tidak diketahui status HIV mereka sehingga tidak bisa dilakukan langkah-langkah penangangan yang komprehensif. Tapi, itulah realitas sosial yang luput dari perhatian banyak kalangan. ILM itu lagi-lagi mendorong stigma dan diskriminasi yang bisa saja dialami oleh perempuan-perempuan yang ditinggal mati suami pengidap AIDS

Kalau saja program tes HIV terhadap ibu hamil tidak berpijak pada paternalistik atau patriarkat serta tidak bias gender, maka langkah pertama adalah konseling pasangan.

Jika hasil konseling pasangan menunjukkan perilaku seks suami berisiko tertular HIV, maka yang menjalani tes HIV duluan justru suami. Atau, keduanya sekaligus tes HIV. Langkah ini bisa menjadi pembelajaran bagi suami-suami agar menjaga perilaku seks sehingga tidak menjadi suami yang menularkan HIV ke istri(-istri).

Tapi, karena faktor patriarkhat yang kuat di negeri ini, maka yang jadi ‘sasaran tembak’ yang empuk adalah perempuan, dalam hal ini istri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun