Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penerbangan Murah, “Budaya” Penumpang di Angkutan Darat dan Laut Tidak Berubah di Kapal Terbang

9 Januari 2015   16:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:29 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14207699751526565113

Agaknya, ‘budaya’ penumpang  dengan peningkatan ‘status’ penumpang dari angkutan darat (bus dan kereta api) dan angkutan laut (feri dan kapal laut) ternyata tidak berubah ketika sebagian dari mereka memakai angkutan udara (kapal terbang).

Suatu hari di Bandara Polonia, Medan. Penumpang Garuda tujuan Jakarta berdesak-desakan di pintu masuk apron (waktu itu di Polonia tidak ada belalai gajah jalan masuk ke kapal terbang).

Ada apa?

‘Kan tidak akan ada penumpang yang berdiri atau ditempatkan di bangku tempel seperti di bus?

Sebagian penumpang membawa barang tentengan: tas dililitkan di leher, tas disandang di bahu kiri dan kanan, kantong plastik ditentang tangan kiri dan tangan kanan.

Astaga!

Rupanya mereka menenteng barang bawaan agar timbangan barang di bagasi tidak melebihi batas yaitu 20 kg.

Nomor Kursi

Maka, mereka pun berebut naik ke kapal terbang untuk menempatkan barang tentengan ke kabin yang tersedia. Maka, jangan heran kalau kabin di atas tempat duduk Anda langsung penuh biar pun tiga kursi belum terisi.

Ada penumpang yang meletakkan barang di laci kabin di beberapa ruang agar tidak mencolok bahwa yang sudah ada di kabin barang dia sendiri. Kalau Anda masuk belakangkan, maka siap-siaplah meminta bantuan pramugari mencari kain yang kosong untuk barang bawaan Anda atau mengalah dengan meletakkan tas di bawah kursi.

Ada langkah yang bisa mengatasi hal itu yaitu dengan mendahulukan nomor besar (jika pintu masuk hanya dari pintu depan), tapi hal ini jarang dilakukan perusahaan penerbangan nasional. Sesekali Garuda memakai ‘aturan’ ini, tapi jangan pula kaget kalau Anda masuk ke kabin di nomor-nomor kecil sudah ada yang duduk sambil cengengesan dan kabin di atas tempat duduknya sudah penuh barang bawaan.

Begitu juga dengan perilaku di kabin tetap tidak berubah bak di dalam bus, di gerbong kereta api atau di dek kapal laut.

Beta so duduk di pesawat, nih.” “Saya sudah ada di dalam pesawat.

Itulah al. lain ucapan penumpang yang sering penulis dengar di kabin kapal terbang di Bandara Hasanuddin Makassar.

Beberapa penumpang di beberapa maskapai yang pernah penulis tumpangi selalu saja ada penumpang yang secara sembunyi-sembunyi menghidupan ponsel. Ada yang menyimpan di tas, di kantong kursi di depannya, di kantong celana, dll.

“Pak, tolong HP-nya dimatikan.” Itulah perintah pramugara Garuda pada penerbangan Manado-Jakarta. Anak muda itu berkali-kali ditegur pramugara dan pramugari tapi tetap saja dia mekakukan pembicaeraan dan SMS-an. Mandara Airlines pernah menurunkan penumpang yang tidak mau mematikan ponsel.

Di Pangkalpinang, Babel, seorang pejabat setempat memuluk pramugari Sriwijaya Air dengan koran yang digulung karena dilarang memakai ponsel.

Padahal, dalam UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang disahkan tanggal 12 Januari 2009 oleh Presiden Dr H Susilo Bambang Yodhoyono ada sanksi pidana dan denda bagi yang menghidupan peralatan elektronik yaitu di Pasal 54 ayat f: Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan dilarang melakukan pengoperasian peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan.

Sanksi bagi yang melakukan Pasal 54 ayat f di atur di Pasal 412 ayat 5: Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengoperasikan peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

“Kami ini mau umroh. Mengapa saya pisah dengan muhrim saya.” Inilah teguran seorang laki-laki kepada pramugari Garuda di Banara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru. Rupanya, tempat duduknya dan istrinya berbeda.

Nah, pramugari yang disapa tidak bisa menjawab dengan taktis.

Dalam hal ini pramugari pun tidak bisa menjawab dengan taktis. Dia bisa memakai ‘kekuasaan’ secara halus.

“Pak, yang menentukan tempat duduk adalah petutas di loket pendaftaran. Tapi, nanti kita atur, Bapak, silakan duduk dulu sesuai dengan nomor boarding pass.”

Tentu saja kesalahan bukan pada pramugari, tapi pada petugas di meja check-in dan yang melakuan check-in. Bisa saja yang melakukan check-in orang travel yang mengurus keberangkatan rombongan umroh itu.

Pertama Kali

“Ini bagaimana, koq, saya deng istri dan anak-anak pisah, to.” Kata seorang laki-laki setengah baya menghardik pramugari Garuda di Bandara Hasanuddin Makassar.

“Bapak, silakan duduk dulu nanti kita atur,” balas pramugari dengan nada membujuk.

“Jangan atur-atur saya. Saya ini marah,” kata Si Bapak itu sambil memegang jenggotnya.

Pramugari yang dibentak itu jusru kecut. Matanya berkedip-kedip.

Lagi-lagi pramugari tidak bisa menjawab dengan taktis. Dan, lagi-lagi keselahan bukan pada pramugari, tapi bisa si bapak itu tidak menjelaskan agar tiket-tiket yang dia laporkan di meja check-in duduk bersebelahaan.

“Pak, sabuk pengamannya dipasang.” Inilah ‘perintah’ pramugari kepada penumpang yang belum mengencangkan sabuk pengaman ketika kapal terbang mulai bergerak ke landas pacu.

“Ya, nanti saya pasang,” kata penumpang itu dengan nada tinggi.

Pengalaman seorang pramugari menunjukkan yang baru pertama kali atau jarang naik kapal terbang sering mengabaikan perintah karena mereka sebenarnya tidak bisa memasang sabuk pengaman. Hal ini disampaikan seorang pramugari Mandala Airlines dalam penerbangan Jakarta-Medan pp untuk liputan “Sehari Bersama” di Tabloid “Mutiara” di awal tahun 1980-an.

Pramugari tadi pun menunjukkan ciri lain, “Begitu pesawat menyentuh landasan ada saja penumpang yang sengaja melepas sabuk pengaman dengan cara tertentu agar kedengaran.”

Memang, sekarang pun selalu saja terdengar suata tak...tak ...tak ketika roda kapal terbang sudah menyentuh landasaan dan bunyi nada pembuka ponsel berdering dari berbagai penjuru di kabin kapal terbang.

Padahal, ketika hendak mendarat ada pengumuman yang melarang melepas sabuk pengaman dan menghidupan ponsel sebelum kapal terbang berhenti. Tapi, itulah gambaran ril sebagian penumpang kapal terbang di negeri ini.

Bahkan, tidak jarang pula ada beberapa penumpang yang menjadikan tempat duduk mereka sebagai ‘warkop’. Mereka berbicara keras-keras sambil ngakak.

“Booming” perusahaan penerbangan sejak tahun 1990-an akhirnya mendorong persaingan yang tidak sehat. Mulailah muncul LCC (low cost carrier) yaitu penerbangan murah yang al. ditandai dengan harga tiket yang murah dan tanpa minum dan makan.

Maka, amatlah tidak masuk akal kalau penerbangan Jakarta-Jayapura dengan Lior Air tidak diberikan air minum. Malahan, pramugra dan pramugari jualan air mineral dan minuman ringan di lorong kapal terbang.

Urusan Tuhan

Penerbangan internasional memberikan keleluasaan tanpa servis di kabin pada penerbangan di bawah dua jam. Itu artinya harga tiket tidaklah rendah-rendah bingits (amat-pen.) karena hanya dikurangi biaya serivis.

Tapi, yang terjadi di Indonesia harga tiket kepal terbang sama dengan harga tiket kereta api. Seperti Jakarta-Semarang harga tiket kereta api eksekutif Rp 325.000, sedangkan airline murah mematok ongkos Rp 159.000.

Akibat banting harga ini perusahaan bus lintas Sumatera gulung tikar karena ada airline yang memasang tarif Jakarta-Medan sama dengan tarif bus eksekutif Rp 500.000-an.

Bertolak dari kenyataan harga tiket murah yang sudah tidak masuk akal itu pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, mulai menata ulang LCC. Menteri Perhubungan, Ignatius Jonan, menetapkan ongkos kapal terbang minimal 40 persen dari tarif.

Kalau begitu selama ini ongkos murah itu di bawah 40 persen. Koq, bisa bisa terus terbang? Tentu saja airline bukan perusahaan amal yang memberikan subsidi kepada penumpang.

Adalah tidak masuk akal dalam satu penerbangan LCC subsidi ditarik dari penumpang kelas bisnis atau eksekutif karena paling banak hanya 10 tempat duduk. Sedangkan penumpang kelas ekonomi 160-an.

Ketika Menteri Jonan mengeluarkan aturan tarif minimal tsb., ini kebetulan terkait dengan kecelakaan AirAsia PK-AXC QZ8501 di Selat Karimata, Laut Jawa, di selatan Kab Kotawaringin Barat, Kalteng, protes muncul karena banyak orang menganggap tarif murah bukan penyebab kecelakaan.

Bahkan Menteri Jonoan mengaku banyak juga yang bilang kepadanya urusan selamat hanya Tuhan yang menentukan (merdeka.com, 9/1-2015).

Tapi, fakta menunjukkan kalau ada kecelakaan angkutan umum, bus, kereta api, kapal laut dan kapal terbang masyarakat selalu menyalahkan pemerintah. Bahkan, ada yang menyalahkan cuaca dan karena takdir. Menteri Jonan mengatakan kalau menyalahkan cuaca sama saja dengan melemparkan tanggung jawab kepada Tuhan.

Untuk itulah Menteri Jonan membenahi angkutan umum, dalam hal ini kapal terbang, al. melalaui ketentuan tarif untuk meminimalisir kecelakaan yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti tingkat perawatan, pelatihan awak, dll.

Langkah-langkah pembenahan tarif kapal terbang yang kelak berujung pada tingkat kemampuan masyarakat membeli tiket kapal terbang, maka pemerintah pun didorong agar meningkatkan pelayanan transportasi darat dan laut sebagai alternatif transportasi.

Presiden Joko Widodo melalui “Kabinet Kerja” sudah mencanangkan ‘tol laut’, pembangunan jalan tol lintas Sumatera, jalur ganda kereta api Jakarta-Surabaya, studi jalur kereta api di Papua, dll. Diharapkan ‘tol laut’ juga bisa dimanfaatkan kapal penumpang bukan hanya kapal kargo.

Celakanya, ada pemerintah daerah yang mengembangan moda transportasi yang justru tidak mendukung mobilitas penduduk dan mendorong perekonomian daerah, seperti Pemprov Riau yang mengoperasikan kapal terbang melalui Riau Airlines.

Yang dibutuhkan masyarakat di Riau adalah transportasi darat dan air (sungai) untuk mobilitas dan membawa hasil bumi dan ternak ke kota. Tentu mustahil membawa sekarung buah rambutan atau dua ekor kambing dengan kapal terbang. Yang lebih ironis lagi Riau Airlines justru lebih banyak terbang di luar Riau.

Sudah saatnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengembangkan moda transportasi yang pas dengan kondii alam dan mobilitas penduduk bukan hanya proyek “mercu suar” untuk gagah-gagahan tapi menyengsarakan rakyat (banyak). *** [Syaiful W. Harahap] ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun