Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Moralisasi Istilah Seputar Zina

28 Februari 2016   17:20 Diperbarui: 28 Februari 2016   17:32 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika pemerintahan rezim Orde Baru (Orba) menjalankan program resosialiasi dan rehabilitasi (Resos) pekerja seks komersial (PSK) yang ‘praktek’ di tempat-tempat yang diregulasi sebagai lokalisasi selalu disebut pelacuran, tapi belakangan ini muncul gerakan yang memoralisasi kegiatan-kegiatan terkait dengan pelacuran.

Tapi, di sisi lain pemerintah sejak dahulu merendahkan harkat dan martabat manusia pada PSK melalui pemakaian kata-kata dan istilah dalam materi KIE atau komunikasi, informasi dan edukasi (Materi KIE HIV/AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia).

Bahasa Indonesia mengenal istilah pelacuran yaitu terkait dengan kegiatan ‘menjual’ diri seorang perempuan untuk melakukan hubungan seksual dengan laki-laki dengan imbalan sejumlah uang. Perempuan yang menerima imbalan disebut pelacur, sedangkan laki-laki yang melakukan hubungan seksual dan memberikan uang sebagai imbalan jasa disebut laki-laki ‘hidung belang’. Tidak ada kata sebutan yang khas terhadap laki-laki ‘hidung belang’ ini.

Dalam banyak berita di media massa dan media sosial serta ujaran di televisi tidak pernah disebutkan pelacuran, tapi disebut prostitusi.

Maka, muncullah istilah ‘prostitusi online’, ‘prostitusi artis’, lokalisasi prostitusi, dll. Kata ‘prostitusi’ dijadikan sebagai eufemisme (penghalusan kata) sehingga orang-orang yang terlibat dalam praktek prostitusi tidak mengalami stigma (cap buruk).

Yang lebih parah di wilayah Cirebon, Jawa Barat. Dalam sebuah pelatihan “Jurnalisme Empati” penulisan berita HIV/AIDS beberapa wartawan mengatakan bahwa mereka akan ‘dimarahi’ oleh berbagai kalangan jika menulis berita dengan menyebutkan prostitusi. Entah dari mana asal-usulnya kata yang dijadikan padangan pelacuaran adalah ‘esek-esek’. Kata ini bebas nilai karena sema sekali tidak mengacu ke suatu kegiatan.

Laki-laki ‘hidung belang’ pun dengan enteng menjawab pertanyaan ini: “Dari mana, Pak Polan?”

“Dari tempat esek-esek.”

Tidak ada stigma dalam kata prostitusi, karena kata itu tidak mengacu ke pelacur sebagi pelaku dan pelacuran sebagai kegiatan yang melibatkan pelacur dan laki-laki ‘hidung belang’ secara eksplisit.

Tanpa sadar sebagian besar wartawan dan blogger berperan aktif dalam memoralisasi pelacuran sehingga tidak bermuatan negatif dan bebas stigma yaitu dengan memakai kata prostitusi.

Pemakain frasa pekerja seks komersial (PSK) adalah terjemahan dari pedanan kata-kata yang mengacu ke pelacuran, terutama di Barat, yaitu commercial sex worker (CSW) karena ada gerakan yang mendorong pelacuran sebagai jenis pekerjaan formal. Ini mereka lakukan agar PSK memperoleh hak-hak sebabagai pekerja (employe). Beberapa negara sudah memberikan ruang kepada kegiatan pelacuran sebagai bagian dari dunia kerja, seperti perlindungan, kesehatan, kesejahteraan, dll. Dengan posisi itu para PSK pun dibebankan kewajiban bak layaknya pekerja formal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun