Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyelamatkan Suku-suku di Tanah Papua dari Ancaman AIDS

25 Juni 2011   21:13 Diperbarui: 2 Juni 2022   13:51 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: sciencefocus.com)

* Jika Penyebaran HIV Tidak Segera Ditanggulangi Tanah Papua Bisa Jadi ’Afrika Kedua’

Melihat kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Papua yang terus bertambah, maka perlu ada langkah konkret untuk menghentikan paling tidak menurunkan laju penyebaran HIV, terutama secara horizontal, di masyarakat. Data terakhir dilaporkan 7.319 kasus HIV/AIDS sudah terdeteks di Prov Papua

[Baca juga: 7.319 Kasus Kumulatif HIV/AIDS di Papua]

Kondisi penyebaran HIV/AIDS tsb. sudah pada tahap ‘lampu merah’ karena kasus banyak terdeteksi pada penduduk asli. Laporan tabloidjubi.com (1/8-2009) menyebutkan 70 persen warga asli Papua tertular HIV.

Pada sebuah pelatihan untuk wartawan tentang penulisan berita HIV/AIDS yang komprehensif di Jayapura (Oktober 2005) dr Zulazmi Mamdy, MPH, pengajar di Fak Kesehatan Masyarakat UI Jakarta, bersama penulis, mengatakan: Kalau orang Jawa, Batak, Sunda, Bugis, dll. yang merantau ke Tanah Papua mati karena AIDS, nun di P Jawa, Tapanuli, Jabar dan Sulsel masih banyak orang Jawa, Batak, Sunda dan Bugis.

Tapi, kalau suku-suku di Papua habis karena penyakit terkait AIDS, maka ada suku yang tidak ada di luar Papua. Kepunahan suku karena penyakit terkait AIDS sudah terjadi di Afrika.

Menghentikan Ritual

Sayang, wartawan yang mengikuti pelatihan itu rupanya tidak bisa membawa fakta itu ke realitas sosial sehingga pemberitaan tentang HIV/AIDS tetap saja menyalahkan pihak lain, terutama pekerja seks komersial (PSK) asal P Jawa dan nelayan Thailand, sebagai ‘kambing hitam’.

Kalau saja pejabat di Pemprov Papua dan Pemprov Papua Barat serta bupati dan walikota di Tanah Papua mau bercermin ke belakang yaitu ketika banyak warga dari suku Marind di Merauke, Prov Papua, mati karena IMS (infeksi menular seksual) tentulah mencegah penyebaran HIV menjadi prioritas utama dalam agenda pemerintahan. Tapi, celakanya pengalaman pahit suku Marind itu tidak menjadi cermin bagi pemerintahan di Tanah Papua dalam menanggulangi epidemi HIV.

Setelah Perang Dunia I pemerintah kolonial Belanda melihat populasi suku Marind terus berkurang karena kematian dan tingkat kelahiran pun sangat rendah. Setelah diteliti ternyata ada sejenis IMS yaitu granuloma inguinale yang juga dikenal sebagai Donovanosis (diambil dari nama seorang dokter yang menemukan IMS tsb. di Papua New Guinea) yang menyebar di komunitas suku Marind. Dikabarkan IMS itu ‘dibawa’ oleh pemburu dari Darwin, Australia, yang berburu burung cenderawasih di Merauke.

Rupanya, terjadi kontak seksual antara pemburu dengan warga lokal. Celakanya, di kalangan warga lokal ada ritual budaya yang diiringi dengan hubungan seksual. Ritual inilah yang menjadi media penyebaran IMS di komunitas tersebut. Diperkirakan waktu itu sekitar 40 persen warga suku Marind tewas karena penyakit tersebut. “Ya, maklum waktu itu belum ada obat antibiotik,” kata dr Suryadi Gunawan, DPH, yang bertugas sebagai dokabu (doker kabupaten) di tiga kabupaten di Papua dari tahun 1962-1981 dan pernah juga menjabat Kakanwil Kesehatan di Papua.

Upaya pengobatan tidak berhasil memutus mata rantai penyebaran IMS tsb. karena ritual terus berlangsung. Akhirnya, Belanda menghentikan ritual tsb. secara paksa dengan tindakan polisional. Pelaku ritual ditangkap. Warga suku yang tidak tertular IMS diasramakan dan dibina.

Tahun 1914 Belanda mengirim dr Jacob Bernadus Sitanala (1889-1958) ke Merauke untuk mengatasi penyebaran IMS. Belakangan Sitanala mendalami penyakit kusta dengan gelar doktor dan guru besar. Namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit kusta di Tangerang, Banten. Pemerintah menganugerahkan gelar ’Perintis Kemerdekaan’ kepada Sitanala.

Dr Suriadi, Ahli Peneliti Utama Pada Litbangkes Depkes yang juga pernah menjabat sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS, sendiri mengetahui IMS yang berkembang di komunitas suku Marind dari laporan ilmiah dalam bahasa Belanda dan Jerman di Belanda dan Jerman. Cara yang dilakukan Belanda untuk menghentikan ritual seks yang menjadi media penyebaran IMS dengan cara polisional dan membina warga yang tidak mengidap IMS membuat komunitas suku Marind bertahan dan berkembang dengan baik.

Kematian yang mendera suku Marind ketika itu disebut karena ’penyakit aneh’. Celakanya, ketika penyebaran HIV/AIDS terjadi di Tanah Papua, terutama di Merauke pada tahun 1992, muncul lagi istilah ’penyaki aneh’. Lalu, ’kambing hitam’ pun melengkapi penyangkalan yaitu dengan mengatakan bahwa HIV/AIDS disebarkan oleh nelayan Thailand. Hal ini menyesatkan karena pada tahun 1992 sudah dilaporkan kasus AIDS di Papua. Jika, dikaitkan dengan masa AIDS yang terjadi antara 5-15 tahun, maka penduduk Papua sudah tertular HIV jauh sebelum kasus HIV/AIDS terdeteksi pada nelayan Thailand di Merauke.

[Baca juga: Epidemi HIV di Irian Jaya*]

Jika dikaitkan dengan kejadian tahun 1914, menurut dr Suriadi, ada cara yang bisa diterapkan untuk kondisi sekarang yaitu penggunaan kondom secara polisional. Artinya, laki-laki dewasa diwajibkan memakai kondom pada hubungan seksual yang berisiko, yaitu pada:

(a). Setiap melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Tanah Papua, di luar wilayah Tanah Papua, atau di luar negeri.

(b). Setiap melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG;, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Tanah Papua, di luar wilayah Tanah Papua, atau di luar negeri.

Melestarikan Suku

Tapi, Pemkab Merauke, melalui KPA Merauke, hanya mengayunkan hukum kepada pekerja seks komersial (PSK) yang ditemukan melayani laki-laki ’hidung belang’ yang tidak memakai kondom. Beberapa PSK sudah meringkuk di bui, tapi pada saat yang sama laki-laki penduduk lokal yang menularkan IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus kepada PSK dan laki-laki yang tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV.

[Baca juga: AIDS di Merauke, Papua: PSK Digiring ke Bui, Pelanggan (Suami) Menyebarkan HIV ke Istri]

Penyebaran HIV akan membesar jika di komunitas ada ritual yang diiringi dengan hubungan seksual. Memang, tidak ada yang bisa menghentikan ritual karena merupakan hak budaya. Maka, kita bisa mengambil jalan tengah: ritual jalan tapi cegah penyebaran IMS dan HIV. Caranya, ya semua laki-laki dipaksa memakai kondom. 

Mewajibkan laki-laki memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti kian penting karena tradisi papisj (bertukar pasangan) masih mewarnai acara-cara ritual budaya lokal. Di beberapa komunitas pun berganti-ganti pasangan dengan istilah khas lokal menjadi tradisi yang mewarnai kehidupan mereka.

Dalam bahasa dr Zulazmi, kebanggaan kepala suku atau laki-laki anggota komunitas akan punah jika anggota komunitas mereka habis. Mereka tidak bisa mengepalai suku lain. Untuk itulah, menurut dr Zulazmi, kepala suku dan laki-laki di Tanah Papua harus menjaga kelangsungan hidup anggota suku. Maka, mereka harus menghentikan penyebaran IMS dan HIV mulai dari diri mereka sendiri. 

Persoalan besar muncul karena peraturan daerah (perda) yang ada di Tanah Papua mulai dari tingkat kabupaten, kota dan provinsi sama sekali tidak menyentuh andil ritual yang ada di beberapa komunitas tsb. terkait dengan penyebaran IMS dan HIV. Di Prov Papua sudah ada perda AIDS di tingkat kabupaten (4), kota (1) dan provinsi (1).

Memang, tidak pada tempatnya menghentikan ritual berdasarkan budaya lokal, tapi bisa dilakukan intervensi, yaitu menghentikan penyebaran IMS dan HIV melalui hubungan seksual terkait dengan ritual budaya, untuk menyelamatkan kelangsungan hidup warga suku-suku tersebut. 

Intervensi yang dilakukan adalah mewajibkan laki-laki memakai kondom pada setiap hubungan seksual dengan PSK. Jika ini tidak berhasl maka langkah berikutnya adalah mewajibkan laki-laki memakai kondom pada acara ritual yang diwarnai dengan hubungan seksual. Selanjutnya mewajibkan suami memakai kondom ketika sanggama dengan istrinya.

Namun, sayang seribu kali sayang ada pendeta dan bupati yang menolak sosialisasi kondom. Mereka memakai semboyan ’Sex Yes,  Condom No'  dan mengumbar semboyan-semboyan moral.  Gubernur pun menyuburkan mitos (anggapan yang salah) yaitu dengan mengajak masyarakat melakukan tobat massal sebagai upaya ‘mengusir AIDS’. Yang perlu bertobat adalah orang yang menyebarkan HIV bukan (perempuan dan anak-anak) yang tertular HIV. 

Langkah terakhir sebagai intervensi adalah menerapkan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Program ini bisa berjalan kalau ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV pada perempuan hamil.

Kini, pilihan ada di tangah pemerintahan lokal: membiarkan HIV menyebar dengan akibat bisa terjadi kepunahan suku-suku atau melakukan intervensi yang konkret untuk menyelamatkan suku-suku bangsa di Tanah Papua dari kepunahan karena penyakit terkait AIDS. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun