Sekarang ini sejak ada Internet kegiatan menulis surat, mengirim kartu pos, mengirim telegram indah sudah lenyap.
Padahal, berkirim surat untuk berbagai tujuan merupakan bagian dari literasi (KBBI: kemampuan menulis dan membaca), seperti menyampaikan pesan, mengucapkan selamat ulang tahun, menyampaikan salah perkenalan, menceritakan kehidupan di rantau dan seterusnya.
Ketika menulis surat yang muncul di atas kertas adalah curahan hati dengan bunga-bunga bahasa yang diolah dengan rasa (taste). Hal ini jelas tidak bisa disampaikan pada teks melalui surat elektronik (Surel), SMS/Short Message Service) atau postingan di WA, Instagram dan X (d/h Twitter).
Ada apologia (pembelaan) bahwa warga di Indonesia enggan menulis surat karena sudah ada e-mail, SMS dan postingan di media sosial. Tapi, mengapa di negara lain berkirim surat dan kartu pos tetap ada?
Padahal, densitas telepon, PC, laptop dan Ponsel di negara lain jauh lebih tinggi daripada di Indonesia. Tentu saja ada faktor yang membuat warga Indonesia tidak berkirim surat lagi.
Celakanya, di sekolah dasar (SD) dan SMP sederajat tidak ada lagi pelajaran membaca dan menulis. Padahal, masyarakat dunia yang maju memulai kehidupan dengan membaca (reading society -- masyarakat gemar membaca) dilanjutkan ke jenjang menulis (writing society -- masyarakat yang gemar menulis) baru masuk ke ranah filming society (masyarakat yang gemar menonton film).
Yang bikin celaka di Indonesia masyarakat belum masuk ke ranah reading society sudah dicekoki dengan sinetron, termasuk opera sabun (soap opera), sehingga merusak jalan ke reading society.
Baca juga: Televisi Mengubah Media Habit Masyarakat* (Kompasiana, 23 April 2011)