Data terkait dengan kasus HIV/AIDS yang dipublikasikan oleh Kemenkes menunjukkan sampai Juni 2024 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 766.534 yang terdiri atas  598.271 HIV dan 168.263 AIDS.
Semua provinsi di Tanah Air melaporkan kasus infeksi HIV baru yang membuktikan ada warga, terutama laki-laki dewasa, yang melakukan perilaku seksual berisiko. Pelaku ini bisa saja warga setempat atau perantau dari daerah lain baik sebagai pelancong maupun pekerja formal dan informal dengan status lajang (di kampung halaman punya istri atau suami).
Selain itu ada pula perempuan yang merantau sebagai cewek penghibur yang bekerja di bar, pub, panti pijat plus-plus dan lain-lain.
Daerah-darah tujuan perantau untuk bekerja formal dan informal, termasuk cewek penghibur, merupakan daerah dengan jumlah kasus HIV/AIDS terbanyak, seperti Jawa Timur, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, Sumatera Utara, Bali, Banten, Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur.
Di tahun 1990-an ada daerah (provinsi) yang memulangkan pekerja seks komerisal (PSK) yang terdeteksi HIV-positif ke daerah asalnya. Hanya saja ada PSK yang dipulangkan berdasarkan hasil survailans tes HIV. Ini jelas ngawur karena hasil survailans tes HIV bukan diagnosis terkait infeksi HIV.
Lagi pula dengan memulangkan PSK yang terdeteksi HIV+ tidak ada gunanya karena:
Pertama, bisa jadi yang menularkan HIV/AIDS ke PSK tersebut justru laki-laki warga setempat. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki tersebut bisa sebagai seorang suami sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS ke istrinya. Jika istrinya tertular ada pula risiko penularan vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya, terutama saat persalinan dan menyusu dengan air susu ibu (ASI).
Kedua, jika PSK itu datang sudah dengan HIV+, maka banyak laki-laki warga setempat yang berisko tertular HIV/AIDS ketika melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.
Paling tidak korbannya antara lain di Kabupaten Karawang, Jawa Barat (Jabar), yang belakangan jadi bulan-bulanan media massa, ketika itu belum ada media sosial.
Baca juga: Media Massa Menceraiberaikan Keluarga Kartam di Karawang* (Kompasiana, 8 Desember 2010)