"228 Warga Cianjur Tertular HIV/AIDS Akibat LSL." Ini judul berita di detik.com/jabar, 31/3-2022.
Judul berita ini misleading (menyesatkan) karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual (seks vaginal, anal dan oral) di dalam dan di luar nikah terjadi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom).
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual (seks vaginal, anal dan oral) di dalam dan di luar nikah bukan karena sifat hubungan seksual, di luar nikah, zina, melacur, atau LSL.
LSL adalah lelaki suka seks lelaki yaitu homoseksual, dalam hal ini gay, yang melalukan seks anal.
Tapi, penularan HIV/AIDS pada LSL bukan karena mereka LSL, tapi karena kondisi saat terjadi seks anal yaitu yang menganal atau yang dianal mengidap HIV/AIDS dan yang menganal tidak memakai kondom.
Di lead berita disebutkan: Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur (Jawa Barat-pen) mencatat ada 551 pengidap HIV/AIDS baru di Cianjur dalam kurun 2019-2022. Dari jumlah itu, 228 orang atau nyaris 50 persen di antaranya akibat perilaku lelaki seks lelaki (LSL).
Pernyataan ini tidak akurat karena penularan HIV/AIDS bukan "akibat perilaku lelaki seks lelaki (LSL)", tapi karena mereka tidak menerapkan seks aman yaitu melakukan seks anal dengan pengidap HIV/AIDS dan yang menganal tidak memakai kondom.
Lagi pula HIV/AIDS pada kalangan LSL itu ada di 'terminal terakhir' karena mereka tidak mempunyai istri sehingga tidak ada penyebaran ke masyarakat.
Yang jadi persoalan besar pada epidemi HIV/AIDS justru pengidap HIV/AIDS di kalangan heteroseksual, terutama laki-laki dewasa. Soalnya, mereka punya istri bahkan ada yang lebih dari satu.
Itu artinya ketika seorang laki-laki heteroseksual mengidap HIV/AIDS, maka dia akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, paling tidak kepada istrinya. Jika istrinya tertular HIV/AIDS maka ada risiko penularan HIV/AIDS secara vertikal ke anak yang dikandungnya kelak, terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Dalam berita sama sekali tidak ada informasi tentang pengidap HIV/AIDS di kalangan heteroseksual dan ibu rumah tangga.
Informasi kasus hanya menyorot LSL. Disebut dalam berita tentang jumlah kasus HIV/AIDS, yaitu:
Tahun 2019: 179 Kasus dengan LSL 79 (kasus non-LSL = 100)
Tahun 2020: 179 Kasus dengan LSL 74 (kasus non-LSL = 105)
Tahun 2021: 111 kasus dengan LSL 32 (kasus non-LSL = 79)
Tahun 2022 s/d April: 82 Kasus dengan LSL 43 (kasus non-LSL = 39)
Jika kasus non-LSL itu pada pekerja seks komersial (PSK) dan laki-laki heteroseksual serta ibu rumah tangga, maka mereka sangat potensial sebagai mata rantai penyebaran HIV/AIDS.
Tampaknya, berita ini termasuk sumber berita lebih mementingkan sensasi agar beritanya bombastis, tapi tidak membawa manfaat bagi masyarakat terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS.
Disebutkan dalam berita: Menurutnya (Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur Frida Laila Yahya), di luar data itu diduga masih banyak ODHA baru yang tidak melakukan tes kesehatan. Ia menyebut kasus HIV/AIDS ini ibarat fenomena gunung es.
Yang jadi masalah besar adalah banyak informasi di media massa dan media online yang selalu mengumbar ciri-ciri HIV/AIDS. Padahal, orang-orang yang tertular HIV/AIDS tidak otomatis menunjukkan ciri-ciri tersebut,
Baca juga: Gejala HIV/AIDS Tidak Otomatis Terkait dengan Infeksi HIV/AIDS
Maka, banyak orang, terutama laki-laki dewasa, yang perilaku seksualnya berisiko tapi tidak mengalami ciri-ciri HIV/AIDS. Maka, mereka merasa tidak tertular HIV/AIDS. Ini yang bikin celaka. Akibatnya, tanpa mereka sadari mereka menularkan HIV/AIDS ke orang lain.
Itulah sebabnya yang dianjurkan tes HIV, bukan tes kesehatan, adalah orang-orang yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko, yaitu:
- Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, Â
- Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang serng berganti-ganti, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, dan
- Peremuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.
Tanpa langkah konkret untuk mengatasi perilaku-perilaku seksual berisiko di atas, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di Kabupaten Cianjur. Sementara itu laki-laki yang tertular HIV/AIDS tidak terdeteksi sehingga mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Jika hal itu yang terjadi di Cianjur, maka penyebaran HIV/AIDS bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermaura pada 'ledakan AIDS.' *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H