Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Serial Santet # 33 - Foto Copy Resep Dokter Lenyap dari Meja Kerja

28 September 2020   20:24 Diperbarui: 28 September 2020   20:27 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keranjang plastik tempat alat-alat tulis (Foto: Syaiful W. Harahap)

"Pak, berkas ini harus dilengkapi dengan resep dari rumah sakit." Itulah penjelasan dari petugas di sebuah apotek di Rawamangun, Jakarta Timur, yang jadi tempat ambil obat PRB (Program Rujuk Balik) BPJS Kesehatan. Program ini sebagai cara untuk mengambil obat tiap bulan hanya dengan resep dokter dari FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) tingkat pertama bisa Puskesmas atau klinik yang jalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Astaga. Kenapa tidak ada foto copy resep dari rumah sakit rujukan? Saya cari di map tempat dokumen-dokumen yang terkait dengan BPJS Keseahatan. Tidak ada!

Lalu, dengan cepat saya sahut: "Sebentar saya ambil ke rumah." Bayangan saya foto copy resep itu tertinggal di rumah.

Tapi, foto copy resep itu tidak ada di rumah. Resep asli diambil oleh BPJS di rumah sakit untuk syarat pemberian kartu PRB. Saya menyimpan foto copy resep tersebut.

1. Didaftarkan Jadi Tumbal Pesugihan

Saya ingat betul foto copy resep itu saya letakkan di keranjang plastik tempat alat-alat tulis di meja kerja. Soalnya, selain foto copy resep ada lembaran PRB. Lembaran PRB ini sebagai 'kartu hijau' (nama untuk kartu PRB karena memang berwarna hijau). Tapi, sekarang tidak lagi bentuk kartu karena hanya lembaran kertas print out.

"Pak, ini jangan hilang. Laminating, ya, Pak," kata petugas yang mengurus PRB di apotek rumah sakit rujukan di Jakarta Timur. Malam harinya 'kartu PRB' itu langsung saya laminating dan foto copy sebanyak 30 lembar. Setiap mengambil obat resep dokter dari FKTP tingkat pertama harus disertai dengan 2 lembar foto copy 'katu PRB'.

Setelah mencari di beberapa tempat di rumah foto copy resep itu tetap tidak ketemu. Saya pun kembali ke apotek menjelaskan bahwa foto copy resep tidak ketemu. Saya pun mencari-cari alasan yang masuk akal. Kebetulan saya baru pindah kontrakan. Inilah alasan saya. Tapi, saya tetap harus kembali ke rumah sakit untuk mendapatkan resep dokter tentang obat yang ada di 'kartu PRB'.

Jika tidak ada foto copy resep dokter dari rumah sakit rujukan, maka saya harus beli obat sendiri dengan harga sekitar Rp 500.000. Tentu saja di masa pandemi ini jumlah itu besar. Maka, saya pun harus meminta pengantar lagi dari FTKP ke rumah sakit rujukan dengan alasan meminta resep karena foto copy resep terdahulu hilang.

Pulang dari apotek tanpa obat saya duduk merenung. Dan, saya baru ingat kalau di bulan-bulan Muharram, Syafar dan Rabiul Awal seperti sekarang ini, Safar, saya jadi sasaran santet. Ini terjadi karena saya dan dua anak saya sudah 'didaftarkan' sebagai tumbal oleh satu keluarga kerabat yang memelihara pesugihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun