Yang terjadi salama ini al. adalah penjangkauan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dengan bantuan donor asing. Tapi, sejak Presiden SBY memasukkan Indonesia dalam kelompok negara G-20 Indonesia tidak boleh lagi menerima hibah (grant) dari luar negeri.Â
Akibatnya, penjangkauan terkendala dan kasus HIV/AIDS banyak ditemukan secara pasif yaitu ketika pengidap HIV/AIDS berobat ke Puskesmas atau rumah sakit dan tes HIV terhadap ibu hamil.
UNAIDS, Badan PBB yang mengangai HIV/AIDS melancarkan isu 90-90-90 yaitu 90 persen Odha tahu status HIV-nya, 90 persen dari Odha itu menjalani terapi ARV, 90 persen menekan kematian.
Disebutkan dalam berita: Mengejar target, pemerintah Indonesia meluncurkan strategi STOP atau singkatan dari Suluh Temukan Obati Pertahankan.
Persoalannya, apa cara-cara yang konkret untuk mendeteksi warga yang tertular HIV/AIDS tapi tidak menyadari bahwa dirinya sudah mengidap HIV/AIDS?
Tidak ada!
Itulah yang terjadi di Indonesia. Penanggulangan hanya di hilir yaitu tes HIV dan terapi ARV, sementara insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa terus terjadi. Bahkan, suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS banyak yang menolak tes HIV sehingga mereka jadi mata rantai penyebaran HIV baru.
Keberhasilan Thailand menanggulangi HIV/AIDS adalah melalui program 'wajib kondom 100 persen' bagi laki-laki yang ngeseks dengan PSK di tempat-tempat pelacuran. Nah, ini dicangkok di Indonesia tapi praktek PSK tidak lagi dilokalisir sehingga intervensi tidak bisa dilakukan.
[Baca juga: Program Penanggulangan AIDS di Indonesia Mengekor ke Ekor Program Thailand]
Transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung sehingga insiden infeksi HIV baru terus terjadi. Laki-laki yang tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu: