Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pindahkan Pusat Pemerintahan Bukan Memindahkan Ibu Kota Negara Indonesia

30 April 2019   13:24 Diperbarui: 15 April 2023   07:43 3086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Putra Mosque (masjid) adalah salah satu ikon Putrajaya (Sumber: civitatis.com)

Jika kelak ibu kota dipindahkan dari Jakarta ke luar Pulau Jawa, maka tetap saja terjadi pergerakan warga ke ibu kota baru karena berbagai kualifikasi pekerjaan formal dan informal dibutuhkan, mulai dari pembantu rumah tangga (PRT), tukang kebun, cleaning service, OB, tukang sol sepatu, pelayan restoran dan tempat hiburan, dst. Pergerakan besar akan terjadi dari Pulau Jawa karena semua kualifikasi pekerjaan ada di Palau Jawa.

Bahkan, untuk beberapa jenis pekerjaan informal tidak tersedia dengan baik di luar Pulau Jawa sehingga harus 'diimpor' dari Pulau Jawa. Kondisi sosial di luar Pulau Jawa tidak memungkinkan warga di sana bekerja di beberapa jenis pekerjaan informal, seperti PRT, pelayan di tempat hiburan, dll.

Ibu kota yang baru itu kelak juga akan sumpek karena ada puluhan kementerian, lembaga, instansi dan institusi. Puluhan ribu pegawai dan karyawan instansi dan institusi membutuhkan tenaga kerja informal sehingga ada arus pendatang yang besar.

Seperti dilaporkan kompas.com (29/4-2019) ada 870.00 orang yang akan 'migrasi' ke ibu kota baru itu yaitu mereka aparatus sipil negara (ASN) dari kementerian, lembaga, legislatif, yudikatif, TNI dan Polri. Tentu saja angka ini belum termasuk anggota kelurga dan karyawan swasta dari perusahan-perusahaan pendukung kementerian dan lembaga.

Skenario Bappenas menyebutkan kota itu akan berpenduduk 1,5 juta jiwa, tapi pada kenyataannya kelak akan membengkak karena kedatangan warga dari sektor nonformal yang juga dibutuhkan. Dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa saja studi Bank Dunia menyebutkan kota tsb. sudah harus membangun angkutan cepat massal (MRT-mass rapid transit), seperti kereta api bahwa tanah, melayang atau kereta ringan (LRT).

Kalau saja kegiatan pemerintahan disebar ke beberapa pulau tentulah Jakarta tidak sesumpek seperti sekarang. Presiden berkantor di Istana Bogor, wakil presiden di Istana Cipanas sedangkan kementerian disebar ke pulau-pulau di luar Pulau Jawa.

[Baca juga: Bukan Memindahkan Ibu Kota Negara, tapi Menyebarkan Kegiatan Pemerintahan, Ekonomi dan Industri]

Bisa saja industri pun kelak akan menyerbu ibu kota baru untuk memenuhi permintaan karena kalau pabriknya di Pulau Jawa tentulah memakan biaya dan memberlukan waktu pula untuk membawa barang-barang ke ibu kota baru.

Daripada menghabiskan dana yang sangat besar hanya untuk memindahkan ibu kota yang kelak juga akan mengalami masalah baru, mengapa tidak dilakukan penyebaran 'gula' al. memindahkan kementerian ke pulau yang terkait.

Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang PS Brodjonegoro menyebut, perkiraan biaya untuk membangun ibu kota baru seluas 40.000 hektar mencapai Rp 466 triliun atau setara dengan 33 miliar dolar AS (kompas.com, 29/4-2019).

Jika disimak dari aspek economic intelligence (EI) banyak kegiatan industri di Pulau Jawa yang tidak pas karena bahan baku didatangkan dari luar Pulau Jawa. Seperti pabrik baja Krakatau Steel, misalnya, apakah tepat dibangun di Cilegon, Banten?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun