Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Penanggulangan AIDS di Kota Batu Dilakukan di Hilir

24 April 2019   15:29 Diperbarui: 24 April 2019   16:01 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: globalgiving.org)

"Jumlah penderita HIV/AIDS di Kota Batu meningkat sejak setahun terakhir. Tetapi meningkatnya jumlah penderita ini merupakan sesuatu yang baik. Karena pihak pemerintah bisa mendeteksi penderita ini, sejauh ini penderita itu menutup diri." Pernyataan ini ada dalam berita "Penderita HIV/AIDS di Batu Meningkat, 2019 Satu Orang Meninggal Dunia" (suryamalang.tribunnews.com, 26/3-2019).

Ada beberapa hal yang membingungkan dan menyesatkan dalam pernyataan di atas, al.:

Pertama, pelaporan jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif yaitu kasus lama ditambah kasus baru sehingga jumlah kasus HIV/AIDS akan terus bertambah dari waktu ke waktu. Biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal jumlah kasus yang dilaporkan tetap tidak berkurang.

Kedua, adalah hal yang menyesatkan kalau disebutkan jumlah penderita (yang tetapa adalah pengidap HIV/AIDS karena orang-orang yang tertular HIV tidak otomatis menderita) meningkat adalah sesuatu yang baik. Ini keliru karena pertambahan kasus infeksi baru membawa implikasi penyebaran HIV di masyarakat.

Ketiga, secara empiris pengidap HIV/AIDS yang sudah terdeteksi melalui tes HIV dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku tidak akan pernah menutup diri karena mereka sudah menjalani konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Jika hasil tes HIV mereka tidak akan menutup diri karena ada kebutuhan untuk pemeriksaan lanjutan dan obat-obatan, terutama obat antiretroviral (ARV).

Penyebutan 'menutup diri' tidak tepat karena yang terjadi adalah banyak orang yang merasa dirinya tidak berisiko tertular HIV karena termakan mitos (anggapan yang salah), al. karena selama ini disebutkan risiko tertular HIV melalui hubungan seksual terjadi jika seks dilakukan dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran. Nah, banyak laki-laki yang seks dengan cewek di penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang sehingga anggapan mereka cewek itu bukan PSK dan tempatnya pun tidak di lokalisasi.

[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]

Padahal, PSK dikenal dua jenis, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.

Padahal, PSK langsung dan PSK tidak langsung sama saja yaitu perempuan dengan perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena mereka sering seks tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti.

Dalam berita disebutkan: Ada screening untuk ibu hamil, penyuluhan di SMP dan SMA, serta tempat-tempat yang sering dijadikan lokasi untuk berkumpulnya pelaku seks. Bahkan hotel dan tempat panti pijat juga menjadi sasaran untuk dilakukan sosialisasi.

Terkait dengan screening untuk ibu hamil, apakah suami ibu-ibu hamil yang menjalani screening juga ikut tes HIV?

Kalau jawabannya TIDAK, maka suami-suami ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Itu artinya insiden infeksi HIV baru terus bertambah.

Penyuluhan dan sosialisasi sudah dijalankan sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia, tapi tidak efektif karena: (a). Materi penyuluhan dan sosialisasi selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos, dan (b). Ada rentang waktu antara menerima sosialisasi dan mengubah perilaku berisisiko, pada rentang waktu itu bisa saja sudah terjadi penularan HIV.

Yang diperlukan adalah langkah konkret yaitu intervensi terhadap laki-laki agar mereka selalu memakai kondom setiap kali seks dengan PSK. Namun, ini hanya bisa dilakukan kalau praktek PSK dilokalisir. Sedangkan sekarang tidak ada lokalisasi PSK, apalagi PSK tidak langsung tentulah tidak bisa diintervensi karena transaksi seks terjadi dengan berbagai modus, bahkan melalui media sosial.

Pendampingan bagi Odha (Orang dengan HIV/AIDS) adalah langkah (penanggulangan) di hilir. Artinya, warga 'dibiarkan' tertular HIV baru menjalani tes HIV selanjutnya didampingi.

Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki yang seks dengan PSK. Langkah yang bisa dilakukan adalah memaksa laki-laki selalu memakai kondom jika seks dengan PSK.

Tanpa langkah yang konkret di hulu, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang pada gilirannya yang tertular akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun