Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Derita Anak-anak dengan Penyakit Langka di Indonesia: "Anak Saya Bukan Alien ...."

18 Maret 2019   09:23 Diperbarui: 7 Agustus 2023   22:10 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Orang tua dan anak penyakit langka berpose bersama dokter-dokter yang menangani anak penyakit langka setelah acara “Formula Medis Khusus untuk Anak Penyakit Langka” di Gedung IMERI FKUI, Jakarta Pusat, 13/3-2019 (Foto: Kompsiana/Syaiful W. Harahap)

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) disebut alien adalah makhluk asing yang berasal dari luar bumi, biasa terdapat dalam cerita atau film fiksi sains. Kata itu (alien) yang sering jadi bagian dari sikap sebagian orang dalam memahami anak-anak dengan penyakit langka dan disabilitas.

Disabilitas [KBBI: keadaan (seperti sakit atau cedera) yang merusak atau membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang; keadaan tidak mampu melakukan hal-hal dengan cara yang biasa] yang ada pada diri seseorang bahkan sering jadi bahan ejekan.

Tidak jarang seseorang dipanggil dengan sebutan kekurangan pada dirinya. Seperti, maaf, Si Pincang, dll. Saya teringat nasehat alm ibu saya, Hj Syarifah Nasution, "Ingat, Nak, jangan mengejek dan menghina. Kalau merasa diri lebih baik dari orang lain bersyukurlah."

Selain penyandang disabilitas ada pula anak-anak dan dewasa dengan penyakit langka (penyakit yang diderita di bawah 2.000 orang). Mereka yang kurang beruntung ini hidup dengan bantuan mutlak orang lain. Ada yang hanya bisa di kursi roda, minum dan makan melalui selang, dll.

Penyakit langka, seperti dikatakan oleh DR Dr Damayanti Rusli Syarif, SpA (K), Dokter Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik Anak RSCM, al. karena kelainan genetik. Itu sebabnya DR Damayanti berharap agar pasangan yang akan menikah memeriksakan diri jika di garis keluarga ada penyakit terkait genetik yaitu penyakit yang tidak menular.

[Baca juga: BPJS Kesehatan Tolak Nutrisi Medis untuk Anak-anak dengan Penyakit Langka]

Seorang psikolog UI, alm Sartono Mukadis, dalam sebuah wawancara di akhir tahun 1980-an mengatakan jika bersua dengan penyandang disabilitas dan penyakit langka, seperti angkutan umum atau di tempat umum, jangan tunjukkan rasa heran seperti melihat makhluh asing. "Sapa saja anak-anak itu atau orang tuanya," kata Sartono ketika itu.

"Ya, Pak, saya sedih sekali ketika banyak orang di mal melihat anak saya seperti melihat makhluk asing," kata seorang ibu muda sambil mengelus putrinya yang berumur 11 tahun di kursi roda. Ibu muda ini mengalaminya tanpa harus berbuat apa agar warga tidak menjadikan anaknya sebagai tontonan: "Anak saya bukan alien," kata ibu muda itu dengan nada rendah.

Salah satu cara yang bisa dilakukan, menurut Sartono, tegur si anak: "Apa kabar, Nak?" Atau orang tua anak tsb.: "Apa kabar, Bu. Sudah usia berapa tahun anak kita ini?" Banyak sapaan yang tidak menyinggung yang bisa jadi pembuka pembicaraan. Yang penting tunjukkan rasa empati (KBBI: keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain) bukan simpati (sekedar ikut merasakan).

Ibu muda tadi mengatakan dia dengan senang hati menjelaskan penyakit yang diderita anaknya jika ada yang bertanya daripada melihat anaknya seperti melihat makhluk aneh.

Di Indonesia nama-nama penyakit langka masih sangat sedikit karena kekurangan dokter ahli dan fasilitas laboratorium yang tidak memadai. Menurut DR Damayanti, di Indonesia baru ada 25 dokter anak yang bisa mengindentifikasi penyakit langka. Hal ini disampaikan DR Damayanti pada acara "Formula Medis Khusus untuk Anak Penyakit Langka" di Gedung IMERI FKUI, Jakarta Pusat, 13/3-2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun