Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

AIDS di Kestalan Solo, Memeriksa Kesehatan PSK Kerja yang Sia-sia

9 Maret 2019   08:54 Diperbarui: 9 Maret 2019   09:22 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: borgenmagazine.com)

Budi (Ketua Pokja Penanggulangan HIV/AIDS Kestalan, B. Budi Susetyo-pen.) menjelaskan setiap tahun Pokja Penanggulangan HIV/AIDS Kestalan rutin melakukan pemeriksaan kesehatan para pekerja seks komersial (PSK). Kegiatan tersebut sekaligus diisi dengan sosialisasi agar para  PSK berhati-hati supaya tak tertular HIV/AIDS (soloraya.solopos.com, 9/3-2019).

Ada beberapa hal yang luput dari perhatian Budi dan wartawan yang menulis berita ini, yaitu:

Pertama, pemeriksaan kesehatan tidak sama dengan tes HIV karena tes HIV dilakukan dengan cara-cara yang khas, al. konseling sebelum dan sesudah tes, anonimitas, persetujuan tertulis, dan kerahasiaan.

Kedua, kalau pun yang dilakukan KPA terhadap PSK adalah tes HIV tidak otomatis menggambarkan kondisi riil dari PSK karena tes HIV hanya akurat jika dilakukan minimal tiga bulan setelah tertular (dalam hal ini hubungan seksual terakhir dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom).

Ketiga, jika tes dilakukan di bawah tiga bulan setelah tertular atau hubungan seksual terakhir dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom hasilnya bisa negatif palsu (HIV ada di darah tapi tidak terdeteksi) atau positif palsu (HIV tidak ada di daerah tapi hasil tes reaktif).

Keempat, jika tes HIV terhadap PSK hasilnya positif itu artinya PSK itu sudah tertular HIV minimal tiga bulan sebelum tes HIV dilakukan. Berbagai survey dan studi menunjukkan seorang PSK rata-rata melayani seks tanpa kondom dengan 3 -- 5 laki-laki setiap malam. Itu artinya sebelum PSK tadi menjalani tes HIV sudah ada 180 -- 300 (1 PSK x 3 atau 5 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan) laki-laki yang berisiko tertular HIV. Jika PSK itu terdeteksi HIV di masa AIDS (secara statistik antara 5 -- 15 tahun setelah tertular HIV), maka jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV kian banyak lagi yaitu 4.500 atau 6.000 -- 10.800 atau18.000  (1 PSK x 3 atau 5 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 12 bulan x 5 atau 15 tahun).

Kelima, laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami sehingga ada risiko menularkan HIV ke istrinya atau pasangan seks lain (horizontal). Jika istrinya tertular HIV ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandungnya (vertical) terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). Laki-laki ini jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Keenam, sebelum PSK tsb. menjalani tes HIV sudah banyak laki-laki yang berisiko tertular HIV karena seks dengan PSK tanpa memakai kondom. Dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami sehingga ada risiko menularkan HIV ke istrinya atau pasangan seks lain (horizontal). Jika istrinya tertular HIV ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandungnya (vertical) terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). Laki-laki ini jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dok Pribadi
Dok Pribadi
Enam hal di atas luput dari perhatian Budi dan wartawan sehingga berita pun sama sekali tidak memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang realitas terkait dengan penemuan PSK yang mengidap HIV/AIDS.

Berita hanya menyasar PSK. Persoalan besar bukan lagi pada PSK karena kondisi PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS sudah di terminal akhir, sedangkan laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK justru ada di awal epdemi sebagai mata rantai penyebar HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dalam berita disebutkan: Apalagi saat pemerintah mengamanatkan pembentukan warga peduli AIDS (WPA) dengan menyasar kelompok risiko tinggi (risti) penularan HIV/AIDS.

Kalau yang disasar hanya ibu-ibu rumah tangga sama saja dengan menggarami laut karena yang jadi persoalan adalah suami mereka yang mempunyai perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV. Adalah hal yang mustahil seorang istri mempertanyakan perilaku seksual suaminya di luar rumah, apalagi meminta suami memakai kondom. Ini awal dari 'neraka' sebagai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Judul berita ini "Pokja Penanggulangan HIV/AIDS Kestalan Solo Sulit Awasi PSK, Ini Penyebabnya" pun sama sekali tidak menggambarkan pemahaman yang komprehensif terhadap epidemi HIV/AIDS.

Untuk apa mengawasi PSK?

Semua masalah ada pada laki-laki. Setinggi apa pun pengetahuan PSK soal HIV/AIDS semua ditentukan oleh laki-laki yang membeli seks yaitu seks tanpa kondom.

Yang diperlukan adalah intervensi terhadap laki-laki agar mereka memakai kondom setiap seks dengan PSK. Celakanya, langkah ini hanya bisa dilakukan jika praktek PSK di lokalisir. Ketika transaksi seks terjadi dalam berbagai bentuk dengan beragama modus insiden infeksi HIV baru pada laki-laki akan terus terjadi.

Selama yang disasar hanya PSK melalui razia dan pemeriksaan kesehatan, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terjadi. Laki-laki yang tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Ini terjadi seperti 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun