Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Guru SD Diduga Cabuli Siswanya di Malang, Paedofilia Incar Siswa-siswi SD

11 Februari 2019   19:22 Diperbarui: 12 Februari 2019   13:09 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: pinterest.at)

IS, seorang guru olahraga di SDN Kauman 3 Kota Malang diduga mencabuli siswanya. Kasus itu sedang ditangani oleh pihak Mapolres Kota Malang.Ini lead pada berita "Guru Olahraga Diduga Cabuli Siswanya, Wali Murid Resah" (kompas.com, 11/2-2019).

Murid atau siswa-siswi sekolah dasar (SD) ada pada rentang usia 7-13 tahun. Rentang usia ini jadi sasaran pedofilia (laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual kepada anak-anak rentang usia 7 -- 12 tahun).

Dalam berita disebutkan: Sutiaji (Wali Kota Malang-pen.) tidak menyangka ada guru yang telah mencabuli siswinya yang masih di bawah umur. Bahkan, Kepala SDN Kauman 3 saat dimintai keterangan juga mengaku kaget.

Pak Wali Kota dan Kepala SDN rupanya tidak mengetahui perilaku seksual yang termasuk parafilia (orang-orang, laki-laki dan perempuan, dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan cara-cara yang yang lain, bisa disebut tidak biasa).

[Baca juga: Parafilia, Memuaskan Dorongan Hasrat Seksual 'di atau dari Sisi Lain']

Contohnya, infantofilia menyalurkan dorongan seks kepada bayi dan anak-anak rentang usia 0 -- 7 tahun. Di Indonesia sudah puluhan kasus infantofilia yang ditangani polisi.

[Baca juga: Infantofilia Mengintai Bayi dan Anak-anak Sebagai Pelampiasan Seks]

Lalu ada paedofilia yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual, seks vaginal dan/atau seks anal, dengan anak-anak pada rentang usia 7 -- 12 tahun. Sedangkan perempuan dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan remaja disebut cougar.

[Baca juga: Cougar, Fantasi Romantis Seks Remaja Bagi Perempuan Dewasa]

Kalau saja Pak Wali Kota dan Kepala SDN3 memahami orientasi seksual, terutama yang menyangkut parafilia tentulah tidak perlu 'tidak menyangka ada guru yang telah mencabuli siswinya yang masih di bawah umur' dan kaget. Soalnya, orentasi seksual dan parafilia ada di lingkungan masyarakat.

Yang membuat runyam adalah media massa, media online dan media sosial hanya menyerang LGBT. Padahal, LGBT tidak melakukan kekerasan seksual. Ada salah paham soal sodomi yang selalu dikaitkan dengan LGBT, dalam hal ini gay. Seks pada gay memang seks anal tapi tidak dengan kekerasan. Sedangkan sodomi adalah kekerasan seksual secara anal seks yang dilakukan oleh laki-laki dewasa yang bisa saja sebagai heteroseksual.

[Baca juga: Salah Kaprah tentang Paedofilia]

Yang dikhawatirkan adalah ada saja orang yang justru menyalahkan korban (blaming the victims). Ini gejala umum yang terjadi di Indonesia, bahkan lebih banyak dilakukan oleh perempuan.

Tidak ada kaitan langsung antara cara berpakaian dengan perkosaan. Di negara-negara yang perempuannya memakai pakaian yang minim justru kekerasan seksual mendekat angka NOL.

Sebaliknya, fakta di Indonesia menunjukkan korban kekerasan seksual justru memakai pakaian yang nyaris menutup seluruh badannya. Lihat saja Agni, bukan nama sebenarnya, mahasiswi UGM Yogyakarta yang jadi korban kekerasan seksual ketika KKN di Maluku (2017) justru oleh pejabat di UGM disalahkan dan disebut sebagai pemicu kekerasan seksual.

[Baca juga: "Rekomendasi Laki-laki" Selesaikan Kasus (Hukum) Perkosaan Mahasiswi UGM?]

Pelecehan seksual terhadap seorang penumpang bus TransJakarta di Halte Harmoni, Jakarta Pusat, beberapa tahun yang lalu juga berpakaian yang hanya menunjukkan wajah. Sayang, berita kompas.com tidak merinci kondisi siswa-siswi yang jadi korban keganasan guru olahraga di SDN Kauman 3 Kota Malang.

Celakanya, RUU Penghentian Kekerasan Seksual yang didengung-dengungkan sebagai upaya mengerem kekerasan seksual sama sekali tidak ada pasal yang memberikan sanksi pidana dan denda kepada orang-orang yang melakukan kekerasan seksual kedua (the second sexual violence) terhadap korban.

[Baca juga: Wartawan Sebagai Pelaku "The Second Rape" dalam Berita Perkosaan]

Maka, sampai kapan pun kekerasan seksual akan terus terjadi di Indonesia biar pun RUU tsb. disahkan karena pelaku kekerasan seksual merasa dirinya 'di atas angin'.

[Baca juga: Pelaku Kejahatan Seksual terhadap Anak-anak dan Perempuan "di Atas Angin"]

Dua menteri perempuan, misalnya, membela 14 pemerkosa dan pembunuh gadis cilik, Yy, di Bengkulu beberapa tahun yang lalu.

[Baca juga: Publikasi Motif Kejahatan di Media Massa Jadi Inspirasi: "Saya Memerkosa Karena Pengaruh Miras dan Pornografi, Bu M**t**i ...."]

Kondisinya kian runyam karena media massa dan media online serta polisi memberikan panggung kepada pelaku kejahatan seksual untuk membela diri.

[Baca juga: Menggugat Pemberian "Panggung" kepada Pelaku Kejahatan Seksual]

Di beberapa negara pemerkosa disuntik mati dan mati di kursi listrik. Sedangkan KUHP hanya memberikan ancaman hukuman maksimal 12 tahun dan UU Perlindungan Anak ancaman 15 tahun.

Sudah saatnya ada pasal berupa sanksi pidana dan kerja sosial kepada orang, badan, atau institusi pelaku the second rape dan orang-orang yang menyalahkan korban. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun