Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama FEATURED

Prostitusi "Artis" (Bisa) Jadi Mata Rantai Penyebaran HIV/AIDS

6 Januari 2019   14:29 Diperbarui: 13 Juli 2020   11:45 2221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: voicesofafrica.co.za)

*Kian mendesak untuk membuat UU Pembuktian Terbalik

Berita-berita seputar penangkapan artis VA menyebutkan digerebek polisi ketika sedang berduaan di kamar hotel di Surabaya. "Artis berinisial VA itu diketahui berumur 27. Saat ditangkap dia diketahui bersama pria yang bukan pasangan di dalam kamar hotel." (bali.tribunnews.com, 5/1-2019).

Tapi, mengapa laki-laki yang bukan pasangan sah VA tidak ditangkap bersama VA?

Ini memang ironi penegakan hukum terkait moral yang selalu menyalahkan perempuan. Bahkan banyak orang yang juga menyalahkan korban kekerasan seksual, seperti pelecehan seksual dan perkosaan.

Misalnya, dengan mengatakan 'habis pakaiannya' dll. Padahal, korban kejahatan seksual ada juga yang memakai pakaian yang menutup seluruh badannya kecuali wajah.

Seorang laki-laki dihukum atas kesalahan sebagai mucikari pelacuran online mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar laki-laki yang membeli seks juga dipidana.

Terkait dengan hal ini MK mengatakan: suatu perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana harus mendapat kesepakatan dari seluruh rakyat yang di Negara Indonesia diwakili oleh para DPR bersama dengan Presiden (news.detik.com, 6/1-2019).

Pejabat di UGM Yogyakarta, misalnya, (perempuan) justru menyalahkan mahasiswi yang diperkosa mahasiswa ketika KKN di Maluku (2017). Ini benar-benar tidak masuk akal karena secara moral si mahasiswa dong yang menjauhkan diri.

[Baca juga: "Rekomendasi Laki-laki" Selesaikan Kasus (Hukum) Perkosaan Mahasiswi UGM?]

Terkait dengan prostitusi yang melibatkan 'artis' biar pun dengan tarif selangit, seperti yang diungkapkan polisi dari Polda Jatim, yaitu Rp 80 juta untuk sekali kencan (kompas.com, 5/1-2019) tetap ada pasaran karena berbagai faktor.

Misalnya, ada kaitannya dengan snobisme (KBBI: orang yang senang meniru gaya hidup atau selera orang lain yang dianggap lebih daripadanya tanpa perasaan malu).

Dalam beberapa kesempatan wawancara dengan (alm) Sartono Mukadis, dulu psikolog di UI, terungkap bahwa perilaku sebagian orang yang secara sosial dinilai berlebihan, seperti membayar 'artis' untuk zina, merupakan salah satu bentuk snobisme.

Snobisme bentuk lain, menurut Sartono, adalah laki-laki akan tertarik jika kepadanya ditawarkan cewek yang disebut sebagai anak, keponakan, atau janda dari kalangan tertentu. Ada yang beralasan sebagai pelampiasan atau balas dendam, misalnya, karena pernah berurusan dengan keluarga cewek yang ditawarkan.

Ada pula yang memakai fantasi seks. Ini biasanya dengan public figure, seperti artis. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian terjadi penipuan yang melibatkan cewek-cewek yang didandani seperti artis tertentu.

Ini terjadi beberapa tahun yang lalu. yaitu kasus 'prostitusi artis' yang ternyata hanya cewek-cewek yang didandani mirip artis tertentu. Dengan dandanan itu 'cewek artis' dibayar mahal.

Melihat angka rupiah yang sangat besar untuk tarif sekali kencan yaitu dari Rp 25 juta -- Rp 80 juta sudah saatnya Undang-undang (UU) Pembuktian Terbalik segera dibuat agar setiap orang bisa mempertanggungjawabkan asal-usul harta kekayaan yang dimilikinya di depan hukum.

Selain itu UU itu pun meningkatkan penerimaan negara berupa pajak penghasilan (PPh) karena setiap orang wajib melaporkan penghasilan sesuai dengan harta yang dimiliki.

Dengan tarif Rp 80 dengan frekuensi 10 kali saja pernbulan penghasilan seorang 'artis' melalui pelacuran hampir Rp 1 miliar. Jumlah ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan honor dari bermain di sinetron dan film.

Dari aspek epidemi HIV/AIDS pelacuran 'artis' juga bisa jadi penyebar HIV/AIDS karena mereka termasuk pekerja seks komersial (PSK) karena dalam prakteknya mereka melayani laki-laki yang berganti-ganti melakukan hubungan seksual.

Mereka dikenal sebagai PSK tidak langsung yang tetap sebagai perempuan dengan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV/AIDS.

PSK dikenal dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.

[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]

Mereka melakukan seks dengan laki-laki yang berganti-ganti. Risiko tertular HIV/AIDS bisa terjadi karena ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang membeli seks kepada 'artis' pelaku prostitusi mengidap HIV/AIDS.

Ilustrasi (Sumber: soc.ucsb.edu)
Ilustrasi (Sumber: soc.ucsb.edu)
Terkait dengan penangkapan ‘artis’ dan PSK kelas atas terjadi diskriminasi (perlakuan berbeda) dengan PSK jalanan. Ketika razia ‘pekat’ (penyakit masyarakat) yang dilakukan oleh polisi atau Satpol PP atau gabungan semua PSK yang tertangkap langsung menjalan tes HIV dan tes IMS [infeksi menular seksual yang lebih dikenal sebagai ‘penyakit kelamin’, yaitu, al.: kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), herpes genitalis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, virus kanker serviks, dll.].

Tapi, ketika polisi menangkap pelacur-pelacur kelas atas di hotel berbintang tidak pernah dilakukan tes HIV dan tes IMS terhadap ‘artis’ prostitusi dan cewek pelacur online. Celakanya, Dinas Kesehatan setempat juga bungkam dan mendukung diskriminasi yang merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Dengan tidak melakukan tes HIV dan tes IMS terhadap 'artis' prostitusi dan pelacur online, maka polisi membiarkan epidemi HIV/AIDS dan IMS merasuk ke populasi melalui laki-laki yang membeli seks kepada 'artis' prostitusi dan cewek pelacur online.

Di awal tahun 2000-an sebagai pengasuh rubrik "Konsultasi HIV/AIDS" di salah satu koran di Indonesia tengah saya menerima surat dari seorang pejabat tinggi di tingkat kabupaten. Pejabat itu mengatakan dia yakin tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena tidak melakukan hubungan seks dengan PSK di lokalisasi pelacuran.

"Bang, kalau dinas ke Jakarta atau Surabaya saya kencan dengan cewek cantik yang bukan PSK." Inilah alasan pejabat tadi yang membuat dia tidak khawatir kena AIDS. Belakangan saya dengar pejabat itu bulak-balik berobat ke rumah sakit. Padahal, waktu itu saya anjurkan tes HIV. Kalau saja pejabat itu tes HIV tentulah dia akan tetap hidup seperti biasa karena ada obat antiretroviral (ARV) yang menjaga imunitas tubuh dengan kondisi replikasi HIV ditekan sampai tidak terdeteksi dengan tes HIV.

Maka, adalah langkah yang arif dan bijaksana jika laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan 'artis' segera menjalani tes HIV untuk menyelamatkan istri dan anak-anak yang akan dikandung istrinya. Silakan kontak kami jika ada kesulitan untuk mendapatkan konseling dan tempat tes HIV yang konfidensial. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun