Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama FEATURED

Hari AIDS Sedunia, Hanya Masyarakat yang Bisa Cegah Penyebaran HIV/AIDS

1 Desember 2018   03:52 Diperbarui: 1 Desember 2020   06:22 1619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Pemerintah tidak bisa cegah penyebaran HIV/AIDS dengan faktor risiko seks

" .... Pilihan kita dalam hal ini memang tidak dapat lain, kecuali mengumumkan jika memang benar ada kasus AIDS di Indonesia, karena hanya masyarakatlah yang dapat mencegah penyebarannya. Bukan pemerintah dan bukan pula dokter. .... " (Kompas, 9/4-1986).

Laporan UNAIDS, Badan PBB yang menangani HIV/AIDS, akhir tahun 2017 tercatat 36,9 juta penduduk Bumi hidup dengan HIV/AIDS. Tahun 2017 dilaporkan 1,8 juta warga dunia tertular HIV/AIDS.

Di Indonesia estimasi jumlah kasus HIV/AIDS 620.000, sedangkan laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 1 Oktober 2018, menyebutkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia sejak tahun 1987 sd. 30 Juni 2018 berjumlah 410.788 yang terdiri atas 301.959 HIV dan 108.829 AIDS dengan  15.855 kematian.

Kasus AIDS Pertama

Untuk meningkatkan kesadaran warga Dunia tentang HIV/AIDS, maka UNAIDS menjadikan tanggal 1 Desember sebagai Hari AIDS Sedunia (World AIDS Day) yang dimulai tahun 1988. Tahun ini temanya "Know Your Status" yaitu menjalani tes HIV agar bisa diketahui status HIV. Ini dianjurkan karena estimasi UNAIDS ada 9,4 juta warga dunia yang hidup dengan HIV/AIDS tapi tidak mereka sadari.

Status HIV merupakan pintu masuk ke akses pengobatan dan upaya menjaga perilaku. Dalam menjalankan tes HIV harus diperhatian lima hal, disebut "5Cs", yaitu: consent (persetujuan), confidentiality (kerahasiaan), counselling (konseling atau bimbingan), correct test results (hasil yang akurat), dan connection (jaringan ke akses pencegahan, pengobatan dan perawatan).

Pernyataan dr Kartono itu setahun sebelum pemerintah mengakui bahwa HIV/AIDS sudah ada di Indonesia (1987). Biar pun sebelum tahun 1987 sudah ada kasus HIV/AIDS ditemukan di Indonesia, tapi pemerintah membantah. 

Pada tahun 1985, misalnya, empat tahun setelah publikasi kasus HIV/AIDS pertama di AS, sudah ada kasus HIV/AIDS terdeteksi di Indonesia dan ini diakui pemerintah melalui Menteri Kesehatan RI, waktu itu Dr Suwardjono Surjaningrat yang membenarkan bahwa di Indonesia telah ditemukan beberapa kasus AIDS yang kesemuanya menjangkiti orang asing. (Sinar Harapan, 2/9-1985).

[Baca juga: Menyoal (Kapan) 'Kasus AIDS Pertama' di Indonesia]

Bahkan, Presiden Soeharto memerintahkan Menteri Kesehatan agar memberikan penjelasan yang benar kepada masyarakat luas, bahwa di Indonesia tidak ada penyakit AIDS. (Berita Yudha, 14/4-1986).

Kalau saja pemerintah tidak harus 'menunggu' ada kasus yang bisa disejajarkan dengan informasi berbalut moral yaitu dengan menyebutkan bahwa HIV/AIDS adalah penyakit bule, homoseksual, dll. tentulah akan lain hasilnya jika dibandingkan dengan kondisi sekarang.

Sampai sekarang tetap saja ada anggapan bahwa HIV/AIDS hanya 'menyerang' orang-orang dengan perilaku amoral, seperti gay dan pekerja seks komersial (PSK). Menkes, waktu itu Suwardjono Suryaningrat, mengatakan Indonesia bukanlah tempatnya penyakit AIDS asal seluruh masyarakatnya tetap berpegang tegus pada ajaran agama yang dipeluknya ataupun norma-norma susila dalam kehidupan sehari-hari. (Merdeka, 25/9-1985). 

Beberapa bulan kemudian Menkes kembali mengatakan: "Kalau kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir terjangkit penyakit tersebut." Menkes dr. Soewardjono Surjaningrat. (Kompas, 12/11-1985)

Privasi

Jika berpijak pada pernyataan dr Kartono, maka yang bisa mencegah penyebaran HIV/AIDS adalah orang per orang yaitu menghindari kegiatan dan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS. Selain dari segi perilaku seks ada pula risiko melalui jarum suntik pada pemakai narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik bersama-sama dengan memakai jarum suntik bergantian.

Perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu:

(1). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS.

Terkait dengan kondisi nomor (1) ini pemerintah tidak bisa melakukan intervensi karena hal itu merupakan bagian dari privasi. Kawin-cerai dan beristri lebih dari satu bukan perbuatan yang melawan hukum. Beristri lebih dari satu pun bisa saja terjadi di bawah tangan, dikenal dengan istilah nikah siri, yaitu nikah yang sah menurut agama tapi tidak dicatat ke KUA (Kantor Urusan Agama). Sedangkan perselingkuhan dan 'kumpul kebo'juga tidak bisa diintervensi selama tidak tangkap tangan.

(2). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja terjadi salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS.

Terkait dengan kondisi nomor (2) ini pun pemerintah tidak bisa melakukan intervensi karena hal itu merupakan bagian dari privasi. Kawin-cerai dan jadi istri yang kedua dan seterusnya bukan perbuatan yang melawan hukum. Jadi istri yang kesekian pun bisa saja terjadi di bawah tangan, dikenal dengan istilah nikah siri, yaitu nikah yang sah menurut agama tapi tidak dicatat ke KUA (Kantor Urusan Agama). Sedangkan perselingkuhan dan 'kumpul kebo' juga tidak bisa diintervensi selama tidak tangkap tangan.

(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), karena bisa saja PSK tsb. tertular HIV dari laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan dia.

Terkait dengan PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:

(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

Upaya menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dijalankan oleh pemerintah Thailand dengan hasil yang baik yaitu melalui program 'wajib kondom 100 persen'. Laki-laki diwajibkan memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Ini bisa dilakukan jika praktek PSK dilokalisir. Celakanya, sejak reformasi semua lokasi dan lokalisasi yang dijadikan sebagai pusat rehabilitasi dan resosialisasi PSK ditutup. Maka, transaksi seks yang melibatkan PSK langsung pun terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Indonesia pun kemudian 'mencangkok' program Thailand tsb. dalam bentuk peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS. Paling tidak ada 90-an Perda AIDS di tingkat provinsi, kabupaten dan kota tapi semua hanya 'macan kertas' karena pasal-pasal dalam perda tidak menukik ke akar persoalan. Perda-perda itu mengekor ke ekor program Thailand.

[Baca juga: Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand dan Program Penanggulangan AIDS di Indonesia Mengekor ke Ekor Program Thailand]

(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.

Termakan Mitos

Karena transaksi seks yang melibatkan PSK tidak langsung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai modus, bahkan melalui media sosial, jelas tidak bisa diintervensi. Maka, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK tidak langsung jadi pemicu penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Informasi yang simpang siur dan tidak akurat menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Lihat saja pernyataan ini: WTS, Homoseks & Waria Sumber Penyakit AIDS.

Kelompok yang berperilaku resiko tinggi seperti WTS (Wanita Tuna Susila), Homoseksual dan Waria (Wanita Pria) masih tetap merupakan sumber utama penularan penyakit AIDS yang sampai sekarang ini menakutkan umat manusia, karena belum berhasil ditemukan obatnya. (Sinar Pagi, 14/3-1989).

[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]

Atau yang ini: Perang Moral terhadap AIDS. Kita perlu menyatakan perang terhadap bahaya AIDS. Kepentingan pertama adalah sikap moral kita sendiri untuk menjauhi sumber-sumbernya, yaitu menjauhi setiap perilaku seksual yang tidak normal. (Tajuk Rencana, Pikiran Rakyat, 27/11-1991)

Sebagai fakta medis (bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran) cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS bisa dilakukan dengan cara yang realistis. Pencegahan melalui hubungan seksual dilakukan dengan cara memakai kondom.

Celakanya, sejak awal epidemi kondom sudah dilarang. Seperti pernyataan Menteri Kesehatan, Prof Dr Sujudi, "Kalau Depkes mengkampanyekan kondom untuk penanggulangan AIDS, berarti pemerintah melegalisir perbuatan prostitusi. Itu tidak benar." (Suara Karya, 3/12-1993)

Kalau saja sejak awal epidemi sosialisasi HIV/AIDS dilakukan dengan objektif tanpa membumbuinya dengan norma, moral dan agama tentulah masyarakat memahami cara-cara penularan dan pencegahan yang realistis. 

Celakanya, yang terjadi justru banyak orang yang tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang realistis sehingga insiden infeksi HIV baru terus terjadi, terutama melalui hubungan seksual yang tidak aman. * [Syaiful W. HARAHAP] *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun