Ketika penerbangan tarif rendah mulai beroperasi terjadilah migrasi dari transportasi darat dan laut ke angkutan udara karena ongkos yang lebih murah.Â
Jakarta-Medan, misalnya, ongkos kapal terbang (Rp 600.000) lebih murah daripada ongkos bus kelas eksekutif (Rp 450.000). Naik bus 48 jam dengan pengeluaran untuk minum dan makandi sepanjang perjalanan.
Ketika itu saya hendak balik ke Jakarta setelah selesai penugasan di Medan (awal tahun 2000-an). Di Bandara Polonia calon penumpang berdesak-desakan di pintu keluar ke apron.
Bukankah semua penumpang kapal terbang pasti dapat tempat duduk?
Lalu, untuk apa mereka berebut naik ke kapal terbang?
Saya memilih mengalah dengan tidak ikut berdesak-desakan. Memang, banyak penumpang yang berjubel di pintu keluar ke aprol membawa tas, ransel punggung, tas kresek, dll. Bahu kiri kanan dan punggung serta ditenteng dua. Total ada lima barang yang dibawa ke kabin.
Ketika saya membuka tempat barang di atas tempat duduk semua sudah penuh. Kok bisa?
Rupanya, penumpang yang berdesak-desakan itu berebut tempat barang di kabin agar tidak masuk bagasi sehingga lolos dari timbangan.
Ketika menonton acara investigasi kecelakaan kapal terbang di siaran televisi NatGeo (13/10-2018) yaitu penyelidikan kecelakaan pesawat terbang Air Midwest jenis turboprop Beechcraft 1900D dengan nomor penerbangan 5481 yang melayani penerbangan berjadwal di Amerika Serikat dari Charlotte Douglas International Airport, North Carolina ke Greenville-Spartanburg International Airport, South Carolina tanggal 8 Januari 2003.
Setelah penumpang dan bagasi naik pilot memberikan isyarat siap lepas landas dan izin diberikan menara pengawas. Tentu saja pilot sudah melakukan cek sebelum terbang termasuk berat bagasi dan penumpang.
Leslie sendiri ketika itu termasuk kapten pilot termuda dengan 1,865 jam terbang di penerbangan komersial. Ada 21 penumpang di kabin, termasuk dua awak kabin.
Penyelidikan yang dilakukan oleh National Transportation Safety Board (NTSB) menemukan fakta bahwa ada kelebihan berat penumpang dan bagasi seberat 264 kg. Ini terjadi karena perusahaan itu memakai ukuran tahun 1936 yaitu berat penumpang dirata-ratakan 70-an kg.
Berdasarkan penyelidikan dengan bertanya dokter pribadi penumpang tentang barat badan pada kunjungan terakhir ke dokter. Dari penyelidikan ini ternyata berat badan rata-rata orang Amerika 90,7 kg dan barang bawaan ke kabin lebih dari 9 kg.
Maskapai penerbangan Finlandia, Finnair, menimbang berat badan calon penumpang sebagai bagian dari pengecekan jumlah berat penumpang, bagasi dan bahan bakar untuk keselamatan penerbangan (kompas.com, 3/11-2017).
Maka, sebelum terjadi kecelakaan seperti yang dialami Air Midwest 5481 ada baiknya semua penumpang kapal terbang di Indonesia menimbang barang tentengan yang akan dibawa ke kabin. Aturan penerbangan di Indonesia berat barang tentengan ke kabin hanya 7 kg. Dengan gambaran seperti di Bandara Polonia tadi, tentulah barang tentengan penumpang lebih dari 7 kg.
Dengan laju pertumbuhan ekonomi obesitas di Indonesia juga meningkat. Apakah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, tidak merevisi berat badan rata-rata penumpang kapal terbang?
Baik juga kalau langkah yang dilakukan Finnair yaitu menimbang berat badan calon penumpang diterapkan juga di Indonesia. Memang repot tapi demi keselamatan ratusan nyawa penumpang (dari berbagai sumber). *